RUU KUHAP Jawab Tantangan Zaman Hukum Acara Pidana

oleh -4 Dilihat
oleh
banner 468x60

Oleh : Rivka Mayangsari*)

Rancangan Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) tengah menjadi perhatian publik dan kalangan hukum di Indonesia. Upaya pembaharuan KUHAP ini dinilai sangat krusial untuk menjawab berbagai tantangan zaman, termasuk dalam menyesuaikan sistem peradilan pidana nasional dengan perkembangan teknologi serta tuntutan perlindungan hak asasi manusia yang semakin kompleks. Penyusunan RUU KUHAP ini merupakan jawaban atas kebutuhan hukum yang modern, adil, dan berpihak pada hak-hak setiap warga negara.

banner 336x280

Dalam sebuah pertemuan penting yang melibatkan Kapolda, Kejati, Pengadilan Tinggi, BNNP DIY, dan akademisi Universitas Gadjah Mada (UGM), Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Sari Yuliati menyampaikan bahwa revisi terhadap Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP sangat penting, mengingat regulasi tersebut telah berlaku lebih dari 40 tahun dan dianggap tidak lagi memadai dalam menghadapi tantangan hukum kontemporer, terutama dalam hal perlindungan hak asasi manusia dan penegakan keadilan.

Sari juga menjelaskan bahwa RUU KUHAP yang tengah dibahas di DPR RI bukan hanya fokus pada pembaruan aspek prosedural semata, melainkan dirancang untuk memperkuat perlindungan terhadap seluruh pihak dalam proses peradilan pidana. Hal ini mencakup perlindungan terhadap tersangka, terdakwa, terpidana, saksi, dan korban, termasuk kelompok rentan seperti penyandang disabilitas.

Ia mengungkapkan bahwa rancangan undang-undang ini juga menyentuh pembenahan mekanisme upaya paksa, peningkatan koordinasi antara penyidik dan penuntut umum, serta penguatan peran praperadilan sebagai bentuk pengawasan terhadap potensi penyalahgunaan kewenangan oleh aparat penegak hukum.

Lebih lanjut, Sari menuturkan bahwa RUU ini mengedepankan prinsip keadilan restoratif dan transparansi dalam proses hukum, yang dianggap sebagai langkah konkret untuk membangun sistem hukum pidana yang lebih manusiawi, adil, dan akuntabel.

Sementara itu, Ketua Mahkamah Agung, Sunarto, menyampaikan bahwa salah satu tantangan terbesar dalam revisi KUHAP adalah dampak dari revolusi industri 4.0 dan 5.0. Ia menjelaskan bahwa revolusi 4.0 ditandai dengan dominasi Internet of Things (IoT), sementara revolusi 5.0 melibatkan kolaborasi antara manusia dan teknologi robotik.

Sunarto menilai bahwa RUU KUHAP perlu menjadi instrumen hukum acara pidana yang menjamin supremasi hukum, perlindungan hak setiap warga negara, dan mendorong terwujudnya peradilan yang transparan, adil, serta adaptif terhadap perkembangan zaman.

Ia juga menyampaikan bahwa pembaruan hukum ini tidak hanya menjadi perbaikan normatif, tetapi harus mampu menjadi solusi konkret atas berbagai persoalan hukum kontemporer, termasuk kejahatan siber dan integrasi teknologi dalam sistem peradilan.

Senada dengan itu, akademisi hukum dari Universitas Pamulang, Bima Guntara, menilai bahwa urgensi pembaruan KUHAP menjadi sangat penting, terutama karena pada 2 Januari 2026, KUHP Nasional akan diberlakukan. Oleh karena itu, menurutnya, hukum acara pidana sebagai hukum formil harus diperbarui agar dapat mengakomodasi kebutuhan hukum materiil yang baru.

Bima menjelaskan bahwa KUHAP berbeda dengan KUHP karena KUHAP mengatur proses peradilan pidana, sedangkan KUHP mengatur jenis-jenis tindak pidana. Ia menekankan bahwa KUHAP menjadi dasar hukum operasional bagi aparat penegak hukum seperti kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan dalam menjalankan wewenangnya.

Ia juga menyebut bahwa pembaruan KUHAP harus mencerminkan keadilan prosedural, seperti perlindungan hak tersangka atas pendampingan hukum, akses terhadap advokat, dan pembatasan waktu penahanan. Selain itu, ia menggarisbawahi pentingnya keterbukaan dan transparansi dalam proses hukum agar masyarakat dapat mengawasi jalannya peradilan dan mencegah potensi penyalahgunaan kekuasaan.

Menurut Bima, keadilan substansial juga perlu menjadi fokus utama, yaitu bahwa putusan pengadilan harus benar-benar berdasarkan fakta dan bukti yang ada, bukan sekadar formalitas administratif. Ia menambahkan bahwa lembaga peradilan harus memastikan independensi dan efektivitas dalam menjalankan peran yudisialnya.

Di sisi lain, ia menegaskan bahwa RUU KUHAP harus diselaraskan dengan semangat KUHP Nasional yang baru, yang mengedepankan prinsip keadilan restoratif, pendekatan rehabilitatif, serta penghormatan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia.

Dengan dukungan dari berbagai pemangku kepentingan, mulai dari legislatif, yudikatif, hingga akademisi, pembaruan KUHAP menjadi momentum strategis untuk memperkuat sistem hukum acara pidana di Indonesia. RUU ini diharapkan tidak hanya menjadi pembaruan normatif semata, tetapi juga sebagai representasi wajah hukum nasional yang responsif, adaptif, dan berpihak pada keadilan sosial di era transformasi digital.

Pemerintah bersama DPR RI diharapkan dapat menyelesaikan pembahasan RUU KUHAP secara tepat waktu, guna memastikan terselenggaranya sistem peradilan pidana yang modern, transparan, dan menjunjung tinggi hak-hak konstitusional setiap warga negara.

Sebagai bagian dari reformasi hukum nasional, RUU KUHAP juga diharapkan mampu meningkatkan kepercayaan publik terhadap institusi penegak hukum. Dengan menjadikan akuntabilitas dan aksebilitas sebagai prinsip utama, pembaruan ini menjadi fondasi penting bagi pembangunan peradilan yang berintegritas dan inklusif. Partisipasi masyarakat sipil dalam mengawasi dan memberi masukan terhadap proses legislasi juga menjadi elemen vital agar RUU ini benar-benar merefleksikan kebutuhan hukum masyarakat Indonesia yang dinamis dan beragam.

*) Pemerhati hukum

banner 336x280

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.