Penyusunan UU TNI Penuhi Mekanisme Perundang-Undangan dan Partisipasi Publik

oleh -10 Dilihat
oleh
banner 468x60

Oleh : Gavin Asadit )*

Revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang kini telah disahkan sebagai Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 menjadi sorotan publik dalam beberapa bulan terakhir. Pemerintah dan DPR menyatakan proses revisi telah mengikuti mekanisme pembentukan perundang-undangan secara formal. Namun, sebagian kecil elemen masyarakat sipil dan akademisi mengungkapkan harapan agar partisipasi publik dapat lebih diperluas dalam pembahasan mendatang.

banner 336x280

Ketua DPR RI, Puan Maharani menyatakan bahwa proses legislasi revisi UU TNI telah memenuhi ketentuan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Menurutnya, pembahasan berlangsung secara bertahap melalui rapat-rapat resmi di DPR, termasuk forum dengar pendapat umum (RDPU) dengan perwakilan militer, akademisi, dan masyarakat. Puan juga menyebut bahwa perubahan hanya mencakup tiga poin utama: Operasi Militer Selain Perang (OMSP), ketentuan usia pensiun prajurit, dan pengaturan jabatan sipil bagi TNI aktif.

Sebelumnya, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah menyatakan bahwa Undang-undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) telah sesuai dengan Undang-undang Dasar 1945. Pernyataan ini disampaikan dalam sidang lanjutan uji formil UU TNI di Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Senin, 23 Juni 2025. Agenda sidang kali ini adalah mendengarkan keterangan dari DPR, pemerintah, dan Presiden

Sementara itu, pemerintah melalui Kementerian Pertahanan dan Panglima TNI membantah tuduhan bahwa revisi UU TNI dilakukan secara tertutup. Mereka menyatakan bahwa proses pembahasan sudah melalui jalur resmi sesuai prosedur, termasuk konsultasi dengan berbagai kementerian, dan menerima masukan dari akademisi dan tokoh masyarakat. Dalam pernyataan resmi, Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto mengatakan bahwa revisi ini bertujuan memperkuat kapasitas TNI dalam menghadapi ancaman modern, termasuk perang siber dan ancaman non-konvensional yang meningkat pesat dalam satu dekade terakhir.

Seementara itu, Pemerintah, melalui Kementerian Pertahanan dan Panglima TNI, menyampaikan bahwa revisi UU TNI bertujuan untuk memperkuat institusi pertahanan dalam merespons berbagai tantangan keamanan masa kini, termasuk ancaman non-tradisional seperti siber dan bencana non-alam. Selain itu, penambahan dua jenis Operasi Militer Selain Perang (OMSP) yakni terkait penanggulangan bencana dan pertahanan siber dianggap sebagai langkah adaptif terhadap perkembangan zaman.

Salah satu poin penting dalam revisi ini adalah penyesuaian ketentuan usia pensiun prajurit. Dalam UU yang baru, usia pensiun perwira ditingkatkan dari 58 tahun menjadi 60 tahun, sedangkan untuk bintara dan tamtama dari 53 tahun menjadi 58 tahun. Perubahan ini, menurut penjelasan DPR dan pemerintah, mempertimbangkan peningkatan usia harapan hidup dan kebutuhan organisasi untuk mempertahankan pengalaman dan profesionalisme prajurit.

Revisi UU TNI juga mencakup ketentuan mengenai pengisian jabatan sipil oleh prajurit aktif. Undang-undang baru memberikan kejelasan bahwa prajurit aktif dapat menduduki jabatan di kementerian atau lembaga tertentu, dengan pengaturan yang ketat dan sesuai kebutuhan strategis. Dalam hal ini, DPR menegaskan bahwa ketentuan tersebut tidak bertentangan dengan prinsip supremasi sipil, karena telah diatur bahwa prajurit yang mengisi jabatan sipil harus mengundurkan diri atau beralih status sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Ketua Komisi bidang Pertahanan DPR, Utut Adianto mengatakan proses pembentukan UU TNI telah dilakukan sesuai prosedur dan memenuhi seluruh unsur hukum yang berlaku, sesuai asas pembentukan perundang-undangan. Menurut Utut, Komisi I DPR telah menjunjung asas kedayagunaan dan hasil guna, sebagaimana diputuskan Mahkamah Konstitusi dalam perkara sebelumnya.
Utut juga menyatakan bahwa penyusunan undang-undang tersebut tidak melanggar satu asas pun. Ia juga menegaskan bahwa DPR telah menjalankan kewajiban untuk melibatkan publik secara substansial dalam proses legislasi. Menurutnya, bentuk partisipasi yang bermakna itu diwujudkan melalui penyelenggaraan rapat dengar pendapat umum (RDPU) yang melibatkan para pakar dan elemen masyarakat.

Pada kesempatan itu, Menteri Hukum Supratman Andi Agtas turut menegaskan bahwa pembentukan UU TNI telah sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3). Supratman juga menjelaskan bahwa sebelum RUU TNI Perubahan diusulkan oleh DPR, Pemerintah telah melakukan penyerapan aspirasi masyarakat sejak tahun 2023 dalam bentuk kegiatan berupa diskusi kelompok terumpun (FDG) yang dilaksanakan oleh Markas Besar TNI.

Lebih lanjut, dalam penyusunan DIM, Supratman menyatakan bahwa pemerintah telah menyelenggarakan kegiatan uji publik melalui kegiatan dengar pendapat publik yang dihadiri oleh unsur kementerian/lembaga, akademisi, hingga kelompok masyarakat sipil. Pada tahap pembahasan, digelar juga beberapa kali rapat pembicaraan tingkat I dan II, sebelum akhirnya sampai pada rapat paripurna DPR RI.
Dengan begitu, Supratman menyatakan bahwa RUU TNI tidak dibentuk secara tergesa-gesa dan memenuhi asas keterbukaan. “Sehingga memenuhi asas keterbukaan dan meaningful participation

Revisi UU TNI merupakan bukti nyata komitmen pemerintah dan DPR dalam membangun sistem pertahanan yang adaptif, modern, dan responsif terhadap dinamika global. Dengan memperkuat peran TNI dalam menghadapi tantangan keamanan non-konvensional dan mengedepankan asas transparansi dalam proses legislasi, revisi ini menjadi fondasi kuat bagi terwujudnya pertahanan negara yang profesional, akuntabel, dan demokratis.

)* Penulis adalah Pemerhati Masalah Sosial dan Kemasyarakatan

banner 336x280

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.