Pengalihan Tanah Terlantar Dorong Optimalisasi Lahan Produktif

oleh -5 Dilihat
oleh
banner 468x60

Oleh: Silvia AP )*

Dalam konteks pengelolaan sumber daya agraria yang lebih adil dan produktif, kebijakan pengalihan tanah terlantar semakin menemukan relevansinya dengan langkah konkret yang kini tengah digodok pemerintah: pengalihan lahan-lahan terlantar kepada organisasi kemasyarakatan (ormas). Kebijakan ini menjadi perluasan dari strategi nasional untuk mengoptimalkan pemanfaatan lahan, sekaligus menjawab tantangan dalam pengelolaan agraria, seperti konflik lahan, ketimpangan penguasaan, dan rendahnya produktivitas lahan yang tidak dikelola secara optimal.

banner 336x280

Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan (PCO), Hasan Nasbi mengatakan bahwa langkah ini diambil untuk memastikan tidak ada lahan yang dibiarkan mangkrak dan menimbulkan masalah di kemudian hari. Tujuan pemerintah adalah supaya tidak ada lahan-lahan yang terlantar, dimana hal ini bisa juga menimbulkan konflik agraria karena dibiarkan sekian lama.

Hasan menegaskan, sebelum tanah diambil alih, akan diterapkan masa tenggang dan tiga kali peringatan resmi kepada pemilik lahan. Hal ini memberi kesempatan kepada pemilik agar bisa mengelola kembali asetnya. Kebijakan ini mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 20 Tahun 2021 tentang Penertiban Kawasan dan Tanah Terlantar. Aturan tersebut menjelaskan bahwa tanah dapat diambil alih oleh negara jika dalam kurun dua tahun setelah pemberian hak tidak dimanfaatkan, dipelihara, atau digunakan secara produktif.

Sementara itu, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN, Nusron Wahid mengatakan dari total 55,9 juta hektare lahan bersertifikat, sekitar 1,4 juta hektare belum dimanfaatkan secara optimal. Hal ini termasuk tanah dengan Hak Guna Usaha (HGU) atau Hak Guna Bangunan (HGB) yang masa berlakunya telah habis serta tidak diperpanjang.

Nusron juga menegaskan terkait penyaluran tanah, harus tetap mengacu pada Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Misalnya, apabila tanah berada di zona permukiman atau industri, maka dapat digunakan untuk membangun pesantren. Sedangkan apabila berada di zona pertanian, dapat dimanfaatkan secara ekonomi oleh koperasi pesantren atau ormas.

Upaya pengalihan tanah kepada ormas menandai pendekatan baru yang lebih partisipatif dan berakar pada kekuatan sosial masyarakat sipil. Ormas yang selama ini berperan dalam pembinaan masyarakat, pendidikan, keagamaan, serta pengembangan ekonomi lokal dinilai memiliki kedekatan sosial dan kapasitas moral untuk mengelola tanah secara bertanggung jawab. Dengan memfungsikan ormas sebagai penerima manfaat, kebijakan ini memperluas basis partisipasi publik dalam pengelolaan lahan dan memberikan ruang bagi masyarakat akar rumput untuk mengakses sumber daya agraria secara lebih langsung.

Langkah ini juga mencerminkan strategi pencegahan terhadap potensi konflik agraria yang kerap muncul akibat tumpang tindih klaim, ketidakhadiran pengelolaan, serta ketimpangan penguasaan lahan. Dalam banyak kasus, tanah terlantar menjadi sumber ketegangan antara pemilik hak lama, masyarakat lokal, dan kelompok lain yang merasa memiliki legitimasi historis atau sosial atas lahan tersebut.

Disisi lain, Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional (Kakanwil BPN) bersama Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau (Pemprov Kepri) melakukan pertemuan membahas optimalisasi pemanfaatan tanah terlantar guna mendukung pembangunan dan investasi di daerah. Kepala Kanwil BPN Kepri, Nurus Sholichin mengatakan pertemuan ini merupakan tindak lanjut dari arahan Presiden Prabowo dalam pertemuan retreat kepala daerah, yang menegaskan bahwa tanah, laut, dan udara dikuasai oleh negara dan harus dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

Sementara, Wakil Gubernur Kepri, Nyanyang menyampaikan bahwa persoalan tanah terlantar selama ini menjadi kendala bagi peluang investasi, terutama di kawasan-kawasan strategis. Wagub Kepri menekankan bahwa daerah harus berpacu dengan pesan Presiden, yakni berinovasi dalam percepatan investasi. Ia juga menyampaikan Pemprov Kepri saat ini tengah gencar menarik investasi guna mendorong pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Kebijakan ini juga membuka peluang bagi lahirnya kolaborasi antara ormas, pemerintah daerah, dan sektor swasta dalam pengembangan model agribisnis yang inklusif. Tanah yang dialihkan dapat dijadikan basis untuk membangun koperasi tani, usaha kecil berbasis pangan lokal, atau skema agroindustri skala komunitas yang memberikan nilai tambah bagi hasil produksi. Dalam jangka panjang, pola ini dapat memperkuat ekonomi lokal, membuka lapangan kerja baru, serta memperluas akses masyarakat terhadap pangan sehat dan terjangkau.

Dalam konteks yang lebih luas, inisiatif ini selaras dengan upaya nasional mendorong transformasi ekonomi kerakyatan dan pemberdayaan komunitas. Tanah bukan sekadar aset fisik, tetapi juga simbol kedaulatan, alat produksi, dan ruang hidup. Ketika tanah dikelola secara produktif oleh entitas yang memiliki legitimasi sosial dan keterikatan komunitas, maka dampaknya akan melampaui aspek ekonomi semata, mencakup pula dimensi sosial, budaya, dan ekologi.

Dengan demikian, kebijakan ini bukan hanya menjadi solusi atas persoalan pemanfaatan lahan, tetapi juga bentuk rekognisi negara terhadap potensi kekuatan sipil dalam mendukung pembangunan berkelanjutan. Hal ini memperkuat narasi bahwa optimalisasi lahan bukanlah sekadar urusan teknis agraria, melainkan bagian dari perjuangan menciptakan keadilan sosial dan kesejahteraan kolektif.

Maka dari itu, integrasi antara kebijakan ini dengan agenda reformasi agraria nasional dan pembangunan desa harus terus diperkuat, agar tanah yang tadinya terbengkalai dapat menjadi fondasi bagi masa depan Indonesia yang lebih inklusif dan berdaulat.

)* Penulis adalah tim redaksi Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Ideas

banner 336x280

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.