Oleh: Bara Winatha*)
Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset menjadi salah satu instrumen hukum yang tengah diperbincangkan pada pembaruan sistem peradilan pidana di Indonesia. RUU ini digadang-gadang sebagai langkah penting dalam memperkuat pemberantasan korupsi dan kejahatan ekonomi lainnya. Namun, urgensi pengesahan RUU ini harus diiringi dengan pembahasan yang cermat agar tidak menimbulkan celah baru dalam penyalahgunaan kewenangan.
Pakar hukum pidana dari Universitas Islam Indonesia (UII), Mudzakkir, mengatakan bahwa substansi utama dalam pembahasan RUU ini seharusnya bukan pada percepatan pengesahan, melainkan pada penataan norma hukum yang akan menjadi fondasi penerapannya. Ia menilai, penyusunan aturan perampasan aset perlu ketelitian demi menghindari potensi penyimpangan, terutama jika kewenangan penyitaan dan perampasan aset diberikan tanpa batasan yang tegas.
Dalam draf RUU yang beredar, terdapat ketentuan bahwa aset yang bukan berasal dari tindak pidana juga bisa disita. Mudzakkir menilai bahwa hal ini sangat problematik karena dapat melanggar asas legalitas dan kepastian hukum. Ia menekankan pentingnya membatasi kewenangan aparat secara tegas agar tidak terjadi praktik penyitaan yang semena-mena, di mana aset seseorang dapat diambil negara tanpa dasar kejahatan yang sah. Ia mencontohkan, kata “sita” dalam konteks hukum pidana memiliki arti bahwa aset tersebut diambil alih negara melalui mekanisme pengadilan.
Dewan Pakar Pusat Studi Kejahatan Ekonomi ini juga menyoroti pentingnya pemisahan konseptual antara penyitaan dan perampasan aset. Ia menegaskan bahwa penyitaan merupakan tindakan sementara berdasarkan putusan pengadilan dan dapat berujung pada pengembalian atau perampasan aset, sementara perampasan berarti aset tersebut langsung diambil negara dan dihapus dari hak kepemilikan pemiliknya. Kejelasan ini penting agar tidak terjadi kekeliruan dalam praktik penegakan hukum yang bisa mengakibatkan pelanggaran hak sipil.
Sementara itu, pemerintah menunjukkan komitmennya untuk mendorong pembahasan RUU ini secara strategis. Menteri Hukum, Supratman Andi Agtas, mengatakan bahwa Presiden Prabowo Subianto telah membahas RUU Perampasan Aset dengan para ketua umum partai politik sebagai bentuk dukungan terhadap pengesahan regulasi tersebut. Menurutnya, Presiden menganggap RUU ini sebagai bagian penting dari reformasi sistem hukum nasional, khususnya dalam pemberantasan korupsi dan kejahatan ekonomi yang semakin kompleks.
Penyusunan RUU ini tidak hanya memerlukan landasan hukum yang kuat, tetapi juga dukungan politik yang solid agar proses legislasi dapat berjalan lancar. Direktur Jenderal Perundang-Undangan beserta jajaran Kementerian Hukum lainnya terus berkomunikasi dengan Badan Legislasi DPR dan DPD dalam rangka menyusun kembali Program Legislasi Nasional (Prolegnas) agar RUU ini bisa masuk dalam prioritas pembahasan.
Lebih lanjut, Supratman mengatakan bahwa meskipun RUU Perampasan Aset belum masuk dalam Prolegnas Prioritas 2025, hal itu tidak mengurangi keseriusan pemerintah untuk memperjuangkannya. Ia menyebut bahwa yang terpenting adalah undang-undang tersebut dapat dirumuskan secara komprehensif dan sah secara hukum. Kejelasan norma dan keselarasan dengan hukum acara pidana menjadi kunci agar penerapannya tidak menimbulkan polemik atau bahkan melahirkan ketidakadilan baru.
Di sisi lain, Anggota Komisi III DPR RI, Nasir Djamil, mengatakan bahwa meskipun RUU Perampasan Aset belum masuk dalam prioritas tahunan, mekanisme di DPR memungkinkan untuk memasukkannya kembali ke dalam daftar prioritas apabila ada kesepakatan fraksi dan keputusan dalam rapat paripurna. Ia menegaskan bahwa RUU ini tidak diabaikan, tetapi perlu diintegrasikan dengan revisi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang tengah dibahas oleh DPR.
KUHAP merupakan landasan utama dalam penegakan hukum, sehingga pembaruan terhadap KUHAP akan memberi kejelasan prosedural terhadap penerapan RUU Perampasan Aset. Penyelarasan antara KUHAP dan RUU ini perlu dilakukan untuk menghindari hal hal yang dapat mengganggu stabilitas hukum dan keadilan. Pembahasan RUU ini juga akan diiringi dengan peningkatan integritas dan profesionalisme aparat penegak hukum, mulai dari penyidik, jaksa, hingga hakim.
Nasir juga menyoroti ketakutan masyarakat terhadap sistem hukum saat ini. Ia menyebut bahwa banyak warga yang enggan terlibat sebagai saksi dalam perkara hukum, bahkan dalam kecelakaan lalu lintas sekalipun, karena khawatir terhadap perlakuan aparat. Menurutnya, hal ini menjadi refleksi bahwa kepercayaan publik terhadap sistem hukum masih belum solid dan akan terus dibenahi secara menyeluruh.
Meskipun secara prinsip RUU Perampasan Aset ini dibutuhkan untuk menutup celah hukum dalam pemberantasan kejahatan ekonomi, harus dirancang dengan kehati-hatian tinggi. Pembahasan yang terburu-buru, tanpa penataan norma yang cermat, justru akan membuka risiko baru dalam bentuk penyalahgunaan wewenang oleh aparat. Karena itu, baik dari sisi akademik, eksekutif, maupun legislatif, pembahasan regulasi ini harus menitikberatkan pada perlindungan hak asasi warga, keselarasan dengan sistem hukum nasional, dan penguatan integritas kelembagaan.
Dengan demikian, pembahasan RUU Perampasan Aset bukan hanya menjadi bagian dari reformasi hukum, tetapi juga menjadi tolok ukur apakah Indonesia benar-benar menjadikan hukum sebagai pelindung keadilan bagi seluruh rakyatnya. Strategi hukum yang cermat, berbasis norma yang jelas, dan dilaksanakan oleh aparat yang berintegritas akan menjadi benteng utama untuk mencegah penyalahgunaan wewenang di masa depan.
*)Penulis merupakan Pengamat Sosial dan Kemasyarakatan