Oleh : Ridho Ramadhan )*
Serangan terhadap stabilitas nasional pada jaman perkembangan dunia teknlogi dan informasi yang sangat pesan seperti sekarang ini nyatanya memang tidak selalu datang dari luar ataupun secara fisik saja, tetapi justru ternyata juga berkembang dari dalam melalui penyebaran narasi negatif yang sistematis.
Isu seperti “Indonesia Gelap” dan opini negatif terhadap revisi Undang-Undang TNI bukan hanya semata bentuk ekspresi kebebasan berpendapat saja, melainkan juga menjadi bagian dari strategi yang disengaja untuk merusak legitimasi institusi negara.
Penyebaran narasi semacam itu, jika tidak diwaspadai oleh seluruh pihak, maka mampu melemahkan kepercayaan publik dan justru menciptakan instabilitas sosial yang berpotensi untuk menimbulkan kerugian secara multidimensi terhadap tatanan bernegara di Republik Indonesia.
Marcella Santoso, tersangka dalam perkara perintangan penyidikan kasus korupsi ekspor crude palm oil (CPO), mengakui secara terbuka bagaimana perannya dalam produksi serta distribusi berbagai konten provokatif yang dengan sengata ditujukan untuk menyerang institusi Kejaksaan, Revisi UU TNI, dan bahkan pribadi Presiden Republik Indonesia kedelapan Prabowo Subianto.
Melalui konferensi pers yang digelar oleh Kejaksaan Agung, pengakuan tersebut semakin memperjelas seperti apa pola kerja jaringan yang diduga dikomandoinya itu dalam upaya untuk semakin menyebarluaskan opini yang sangat menyesatkan ke ruang publik.
Kapuspen TNI Mayjen Kristomei Sianturi menegaskan bahwa Tentara Nasional Indonesia sama sekali tidak akan pernah membiarkan isu-isu yang dapat melemahkan negara terus berkembang begitu saja tanpa adanya tanggapan apapun.
TNI menyatakan memberikan dukungan penuh terhadap Kejaksaan Agung dalam mengungkap jaringan penyebar narasi negatif yang selama ini terus mencoba mencoreng citra institusi negara dan mengancam fondasi persatuan nasional.
Kristomei menekankan bahwa TNI siap menjalin kerja sama erat dengan seluruh instansi penegak hukum untuk mengungkap keterlibatan pihak-pihak yang berada di balik distribusi informasi menyesatkan tersebut.
Menurut penilaian Kristomei, penyebaran isu negatif semacam itu bukan sekadar bentuk kritik, melainkan ancaman serius terhadap stabilitas negara. Ia menilai bahwa tindakan tersebut menciptakan ruang bagi keresahan sosial, memperkeruh relasi antara institusi, dan mengganggu proses hukum yang sedang berjalan. Untuk itu, ia mendorong pengungkapan menyeluruh terhadap aktor-aktor di balik jaringan buzzer serta aliran dana yang mendukung operasi penyebaran konten negatif tersebut.
Di sisi lain, Direktur Penyidikan Kejaksaan Agung Abdul Qohar menyatakan bahwa penyidik telah mengantongi bukti-bukti elektronik yang menunjukkan keterkaitan narasi “Indonesia Gelap” dan Revisi UU TNI dengan motif menggiring opini publik.
Penyidik mencurigai narasi-narasi tersebut diproduksi bukan untuk mendidik masyarakat, melainkan untuk menciptakan persepsi keliru terhadap proses penyidikan yang dilakukan institusi hukum negara. Tujuannya tidak lain untuk menurunkan kredibilitas penegak hukum dan mengaburkan substansi perkara yang sedang ditangani.
Abdul Qohar menjelaskan bahwa meskipun penyidik tidak secara langsung menyelidiki institusi di luar lingkup tugas Kejagung, keberadaan narasi negatif terhadap Revisi UU TNI dan Kejaksaan ditemukan dalam perangkat elektronik tersangka. Hal tersebut menjadi dasar dilakukannya pendalaman terhadap motif produksi konten serta hubungan komunikasi antara para pelaku.
Marcella, dalam pernyataannya, menyampaikan penyesalan atas kelalaiannya mengawasi tim media sosial yang di bawah arahannya telah memproduksi sejumlah konten provokatif. Ia mengaku tidak memiliki kebencian pribadi terhadap lembaga-lembaga negara yang menjadi sasaran serangan konten, termasuk TNI dan Kejagung. Namun pengakuan tersebut tidak menghapus dampak luas dari penyebaran isu yang telah memperkeruh opini masyarakat.
Dalam proses penyidikan, Kejagung telah menetapkan empat orang tersangka lain yang memiliki peran strategis dalam distribusi konten negatif. Salah satunya adalah Ketua Cyber Army, M. Adhiya Muzakki, yang disebut memimpin ratusan akun buzzer untuk menyebarkan narasi menyerang institusi negara.
Kejaksaan menyebut Adhiya menerima dana hampir Rp 900 juta dari Marcella guna menyukseskan distribusi konten tersebut. Tersangka lain, Tian Bahtiar, diduga menerima ratusan juta rupiah untuk membuat pemberitaan negatif tentang Kejaksaan dan RUU TNI.
Lebih jauh, pengungkapan kasus tersebut juga memunculkan fakta adanya aktivitas seperti seminar hingga unjuk rasa yang sengaja diorganisir untuk memperkuat persepsi negatif publik. Aktivitas itu diarahkan agar mendapat liputan media dan memancing simpati emosional, sekalipun substansi narasinya belum terverifikasi kebenarannya. Dalam konteks ini, penyebaran isu negatif telah bergerak melampaui ruang maya dan mulai memanipulasi opini publik di ruang nyata.
TNI menilai situasi tersebut sebagai ancaman serius terhadap keutuhan negara. Sebagai garda terdepan dalam menjaga kedaulatan, TNI memandang penting untuk meningkatkan literasi publik dalam memilah informasi, serta mendorong masyarakat agar tidak mudah terseret dalam arus informasi palsu. Kristomei menegaskan bahwa TNI akan terus mengedepankan prinsip hukum dan profesionalitas dalam merespons segala bentuk serangan terhadap institusi negara.
Masyarakat perlu menyadari bahwa narasi yang dibungkus dengan retorika kebebasan berekspresi tidak selalu murni berangkat dari kepentingan publik. Dalam banyak kasus, narasi tersebut justru berasal dari agenda tersembunyi untuk melemahkan struktur kekuasaan sah dan memperkeruh situasi nasional. Untuk itu, kewaspadaan terhadap isu-isu provokatif perlu menjadi bagian dari upaya kolektif dalam menjaga integritas institusi dan kestabilan negara. (*)
)* Penulis adalah pengamat media sosial