Oleh: Rahmawati Nur *)
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) bukan sekadar kebijakan intervensi gizi. Ia merupakan pijakan awal dalam strategi besar membangun sumber daya manusia (SDM) Indonesia yang unggul dan berdaya saing global. Dalam konteks ini, MBG menjadi perpanjangan tangan pemerintah dalam menanamkan nilai-nilai ketahanan kesehatan sejak usia dini, sekaligus menutup celah ketimpangan akses pangan sehat di berbagai wilayah.
Pemerintah pusat melalui Badan Gizi Nasional (BGN) telah menjadikan MBG sebagai program prioritas. BGN menargetkan jutaan anak sekolah, ibu hamil, menyusui, dan balita sebagai penerima manfaat utama. Fokusnya bukan sekadar memenuhi kebutuhan dasar pangan, tetapi memastikan asupan yang dikonsumsi memenuhi standar gizi nasional demi mendukung tumbuh kembang optimal. Dalam strategi pembangunan jangka panjang, kualitas gizi yang memadai menjadi fondasi dari produktivitas dan kecerdasan generasi penerus.
Program MBG juga terus disosialisasikan di berbagai daerah sebagai langkah awal membangun kesadaran kolektif akan pentingnya pemenuhan gizi. Sosialisasi ini bukan sekadar mengenalkan program, tetapi juga mengajak masyarakat terlibat aktif dalam pelaksanaannya. Di Kabupaten Bengkulu Utara, sosialisasi yang dilakukan bersama anggota Komisi IX DPR RI, Eko Kurnia Ningsih, terlihat jelas bagaimana publik mulai menyadari pentingnya sinergi antara akses pangan bergizi dan peningkatan kualitas hidup. Eko menyatakan bahwa dengan dukungan kebijakan yang tepat, masyarakat akan semakin mampu mengatasi permasalahan stunting dan gizi buruk, dua persoalan krusial yang selama ini menghambat perkembangan SDM di banyak daerah.
Data yang dihimpun dari BGN juga mencerminkan komitmen yang tidak main-main. Di Provinsi Jawa Barat, misalnya, telah dibangun 600 dari total 5.000 Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) yang direncanakan. Wakil Gubernur Jawa Barat, Erwan Setiawan mengungkapkan bahwa sisa 4.000 lebih SPPG dalam tahap finalisasi pembangunan, dengan harapan seluruh dapur MBG bisa beroperasi penuh pada akhir Oktober. Jika target ini tercapai, Jawa Barat akan menjadi provinsi percontohan nasional dalam keberhasilan distribusi gizi berbasis komunitas.
Penting dicatat bahwa 85 persen dari anggaran MBG dialokasikan untuk pembelian bahan pangan dari petani dan UMKM lokal. Kepala BGN, Dadan Hindayana, menegaskan bahwa hal ini akan mendongkrak produktivitas sektor pertanian dan industri pangan kecil. Artinya, MBG bukan hanya soal gizi, tetapi juga penggerak ekonomi kerakyatan. Dengan demikian, efek ganda program ini mencakup perbaikan kesehatan masyarakat sekaligus peningkatan pendapatan masyarakat lokal.
Kontribusi aktor non-pemerintah pun tak kalah signifikan. Contohnya, PBNU yang mengintegrasikan program MBG ke dalam ekosistem pesantren. Lebih dari seribu dapur MBG ditargetkan dibangun di lembaga pendidikan di bawah naungan NU, dengan puluhan sudah siap beroperasi. Pendekatan berbasis gizi yang diterapkan PBNU juga membawa narasi baru bahwa makan bukan sekadar kenyang, tetapi harus menunjang tumbuh kembang anak secara komprehensif.
Ketua PBNU, KH Yahya Cholil Staquf menyebut bahwa perubahan pola pikir terkait makanan menjadi langkah awal dari revolusi pendidikan. Ketika gizi anak terjamin, maka kapasitas belajar dan berpikir akan meningkat. Ini akan mempercepat pencapaian visi besar Indonesia Emas 2045. PBNU juga memastikan bahwa pengelolaan dapur dilakukan oleh tenaga profesional dari kalangan Sarjana Penggerak Pembangunan Indonesia (SPPI), demi menjamin konsistensi mutu dan efektivitas intervensi.
Dalam konteks nasional, angka penerima manfaat memang masih jauh dari target. Baru 9 persen dari total 82,9 juta sasaran yang terjangkau hingga pertengahan 2025. Namun, justru dari sini terlihat skala komitmen program MBG. Dibandingkan dengan negara-negara lain, capaian ini setara dengan memberi makan seluruh penduduk Denmark atau Finlandia. Namun Indonesia berbeda: luas wilayah, tantangan logistik, dan jumlah penduduk menuntut keberanian dan konsistensi kebijakan. Dalam hal ini, kehadiran MBG adalah bentuk konkret dari keberpihakan negara terhadap warganya yang paling rentan.
Analis Kebijakan Madya SDM di BGN, Mochamad Halim menggarisbawahi pentingnya keterlibatan seluruh elemen, termasuk sekolah, orang tua, UMKM, dan pemerintah daerah. Ia menekankan bahwa tak boleh ada anak yang belajar dalam kondisi lapar. Dengan prinsip inklusif ini, MBG diarahkan tidak hanya sebagai penyedia gizi, tetapi juga sebagai wadah edukasi tentang pentingnya pola makan sehat. Pendidikan gizi harus dimulai dari bangku sekolah dan dapur rumah tangga, agar perubahan perilaku konsumsi bisa berkelanjutan.
Seluruh rangkaian kebijakan ini menegaskan bahwa MBG bukanlah program temporer. Program ini dirancang sebagai investasi jangka panjang yang mengakar dalam struktur sosial dan ekonomi masyarakat. Pemerintah mengartikulasikan komitmen ini melalui kolaborasi lintas sektor dan distribusi sumber daya yang adil. Dalam skenario terbaik, MBG akan menjelma menjadi fondasi transformasi SDM nasional yang selama ini kerap terhambat oleh persoalan dasar, seperti kelaparan, kekurangan gizi, dan ketimpangan akses pangan.
Melalui keberlanjutan dan konsistensi kebijakan, Indonesia berpeluang besar untuk keluar dari perangkap middle-income dan memasuki era bonus demografi dengan kesiapan penuh. SDM unggul bukan hanya soal kecerdasan intelektual, tetapi juga kesehatan fisik dan daya tahan tubuh. Semua itu dimulai dari satu langkah sederhana dengan memastikan setiap anak Indonesia dapat makan bergizi setiap hari. Dengan MBG, harapan itu menjadi lebih dekat dan nyata.
*) Pemerhati Gizi dan Kesehatan Masyarakat
[ed]