Oleh: Rania Zhafira )*
Kebijakan pengampunan yang diambil Presiden Prabowo Subianto terhadap dua tokoh nasional, yakni Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto dan mantan Menteri Perdagangan Tom Lembong, menuai dukungan dari sejumlah pihak yang menilai langkah tersebut sebagai bentuk nyata keadilan restoratif. Melalui mekanisme konstitusional, Presiden mengajukan surat resmi kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk memberikan amnesti kepada Hasto dan abolisi kepada Tom. Langkah ini dinilai sebagai manifestasi dari prinsip penyelesaian perkara yang lebih berkeadilan dan menyeluruh.
Amnesti kepada Hasto diberikan setelah adanya putusan hukum tetap, sedangkan abolisi terhadap Tom diberikan saat proses hukum masih berlangsung. Keduanya merupakan bentuk pengampunan yang diberikan dalam kerangka konstitusi dan telah melalui persetujuan lembaga legislatif. Kebijakan ini dipahami sebagai upaya Presiden untuk menuntaskan persoalan hukum yang dinilai lebih banyak bermuatan politis, bukan semata persoalan pidana.
Pakar hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, menilai bahwa amnesti dan abolisi adalah kewenangan sah yang dimiliki oleh Presiden. Ia menjelaskan bahwa amnesti adalah pemafaan terhadap hukuman setelah vonis inkrah, sementara abolisi adalah penghentian proses hukum yang sedang berjalan. Dalam dua kasus ini, Presiden dinilai telah menggunakan keduanya secara tepat sesuai konteks hukum masing-masing.
Menurut Abdul Fickar, pengampunan ini bukan semata soal hukum, tetapi menjadi bagian dari rekonsiliasi nasional yang lebih luas. Ia memandang bahwa keputusan Presiden perlu dipahami dalam konteks menjaga keutuhan bangsa dan meredam ketegangan politik yang tidak produktif. Dengan memberhentikan proses hukum yang dinilai memiliki muatan politis, pemerintah dianggap menunjukkan komitmennya terhadap keadilan yang lebih substansial.
Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad, menyampaikan bahwa lembaganya telah menerima dan memberikan persetujuan atas surat Presiden terkait amnesti dan abolisi tersebut. Surat bernomor R43/Pres/072025 yang diajukan Presiden untuk memberikan abolisi kepada Tom Lembong, serta surat nomor 42/Pres/072025 untuk memberikan amnesti kepada Hasto Kristiyanto dan lebih dari seribu warga lainnya, telah dibahas dan disetujui oleh DPR. Persetujuan ini menunjukkan bahwa kebijakan pengampunan bukan keputusan sepihak, tetapi merupakan hasil mekanisme konstitusional yang melibatkan cabang kekuasaan negara lainnya.
Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Ahmad Sahroni, mengapresiasi langkah Presiden dalam memberikan abolisi kepada Tom Lembong. Ia menilai keputusan ini sebagai bentuk nyata perhatian Presiden terhadap stabilitas politik nasional. Menurutnya, dengan menghentikan proses hukum terhadap tokoh-tokoh yang kasusnya kental dengan nuansa politis, pemerintah sedang berupaya menciptakan suasana yang lebih kondusif bagi pembangunan bangsa.
Ahmad Sahroni juga menilai bahwa kebijakan ini mencerminkan komitmen Presiden untuk menghindari kegaduhan politik yang tidak perlu. Di tengah tantangan besar yang sedang dihadapi negara, ia melihat langkah ini sebagai bentuk keberanian politik untuk memprioritaskan isu-isu strategis ketimbang mempertahankan konflik yang berkepanjangan. Menurutnya, Presiden tengah menunjukkan kepemimpinan yang berorientasi pada kemaslahatan publik dan kesejahteraan masyarakat.
Selain itu, kebijakan ini juga mencerminkan pemahaman Presiden terhadap prinsip-prinsip dasar konstitusi. Dengan memanfaatkan hak prerogatif secara tepat dan proporsional, Presiden menunjukkan bahwa hukum dapat berjalan beriringan dengan politik kebangsaan yang sehat. Keputusan ini pun dinilai sebagai respons yang tepat terhadap situasi nasional yang memerlukan pendekatan rekonsiliasi.
Langkah ini juga memperlihatkan bahwa sistem hukum Indonesia tetap terbuka terhadap penyelesaian alternatif, selama tetap berada dalam kerangka hukum yang sah. Dalam praktiknya, pendekatan restoratif menjadi semakin relevan, terutama dalam kasus-kasus yang menyangkut tokoh publik dan berdampak luas terhadap stabilitas politik. Oleh karena itu, kebijakan pengampunan ini dianggap sebagai instrumen penting untuk meredam eskalasi ketegangan dan memperkuat semangat persatuan nasional.
Pemerintah juga menunjukkan bahwa pemberian pengampunan bukan bentuk pembiaran terhadap pelanggaran hukum, melainkan strategi penyelesaian yang mempertimbangkan banyak aspek, termasuk kepentingan bangsa secara keseluruhan. Pendekatan semacam ini menunjukkan bahwa keadilan bukan sekadar menegakkan hukum secara kaku, tetapi juga menyentuh sisi kemanusiaan dan politik kebangsaan.
Dengan kebijakan ini, Presiden Prabowo Subianto telah memperlihatkan bahwa ia tidak hanya bertindak sebagai kepala pemerintahan, tetapi juga sebagai pemimpin yang memahami nuansa sosial dan dinamika politik. Ia dinilai mampu mengambil keputusan dengan mempertimbangkan dampak jangka panjang terhadap stabilitas dan keharmonisan bangsa.
Keputusan memberikan amnesti dan abolisi ini pun menjadi refleksi dari model kepemimpinan yang tegas namun bijaksana. Melalui prosedur yang sah dan legitimasi dari DPR, Presiden menunjukkan bahwa negara mampu menjalankan fungsi hukumnya tanpa mengabaikan kebutuhan rekonsiliasi. Hal ini diharapkan menjadi landasan bagi langkah-langkah berikutnya dalam membangun pemerintahan yang kuat, inklusif, dan berkeadilan.
Kebijakan pengampunan ini membuktikan bahwa Indonesia memiliki ruang untuk menyelesaikan ketegangan melalui jalan hukum yang konstruktif. Dengan tetap menjunjung tinggi prinsip konstitusi, Presiden telah memberikan teladan bahwa kepemimpinan tidak selalu harus berwujud penindakan, tetapi juga mampu hadir dalam bentuk pengampunan yang mengedepankan masa depan bersama.
)* Pengamat Kebijakan publik