Oleh: Ricky Rinaldi
Seseorang dapat ditahan berbulan-bulan hanya karena alasan subjektif penyidik, atau seorang korban tidak bisa mendapatkan pendampingan hukum sejak awal. Ini bukan sekadar potret ketimpangan, tapi juga sinyal bahwa sistem peradilan pidana kita perlu pembaruan menyeluruh. Pemerintah bersama DPR kini tengah menjawab tantangan ini melalui pembahasan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP), sebagai upaya memperkuat keadilan, efisiensi, dan perlindungan hak asasi dalam proses hukum.
Sejak diberlakukan pada 1981, KUHAP menjadi rujukan utama dalam proses pidana di Indonesia. Namun, usia yang sudah lebih dari 40 tahun membuat sebagian isinya tak lagi relevan dengan perkembangan zaman. Teknologi sudah melesat, masyarakat semakin kritis, dan kebutuhan akan proses hukum yang cepat serta adil menjadi semakin mendesak. RUU KUHAP hadir sebagai jawaban pemerintah untuk memastikan setiap warga negara mendapat keadilan hukum secara bermartabat dan modern.
Salah satu langkah terobosan dalam RUU KUHAP adalah penegasan batas waktu pada tiap tahapan perkara pidana. Jika sebelumnya proses hukum bisa berlarut-larut tanpa kepastian, kini pemerintah ingin menghadirkan sistem yang menjamin proses penyelidikan, penyidikan, penuntutan, hingga persidangan berjalan sesuai tenggat yang masuk akal. Efisiensi ini sangat penting demi mencegah ketidakadilan akibat penundaan.
RUU ini juga memanfaatkan kemajuan teknologi digital. Pemerintah mendorong sistem elektronik dalam pengelolaan perkara—mulai dari pelimpahan berkas, panggilan pihak-pihak terkait, hingga sidang daring. Inisiatif ini bukan hanya efisien, tapi juga transparan dan minim potensi penyalahgunaan. Langkah ini mencerminkan keseriusan negara dalam membangun peradilan modern berbasis teknologi.
Dalam draf RUU ini, negara juga ingin memperkuat peran advokat sebagai bagian integral dari sistem peradilan yang adil. Seorang advokat kini bukan hanya pendamping tersangka, tetapi juga bisa mendampingi saksi maupun korban sejak awal proses hukum. Advokat diberikan hak untuk menyampaikan keberatan bila terjadi tindakan yang tidak manusiawi, seperti intimidasi atau kekerasan. Langkah ini merupakan bukti nyata bahwa negara tidak ingin ada warga negara yang mengalami perlakuan sewenang-wenang dalam sistem hukum.
Pemerintah juga memperketat aturan tentang penahanan. Jika sebelumnya penahanan kerap dikritik karena terlalu mudah dilakukan oleh penyidik, dalam RUU KUHAP, penahanan harus memenuhi syarat yang jelas dan berbasis bukti. Tidak cukup hanya dengan “keyakinan” aparat, tetapi harus ada dasar hukum yang kuat. Ini adalah bagian dari semangat pemerintah memperkuat perlindungan hak asasi manusia, sekaligus memastikan proses hukum berjalan lebih objektif.
Anggota Komisi III DPR, Habiburokhman, menyebut bahwa RUU KUHAP akan memperkuat posisi tersangka, saksi, dan korban secara seimbang. Negara hadir tidak untuk menghukum semata, tetapi memastikan proses berjalan adil sejak awal. Ia juga menyoroti bahwa perlindungan hukum dalam proses peradilan tidak boleh lagi menjadi barang mewah—harus menjadi hak setiap warga negara tanpa kecuali.
Senada dengan itu, Hinca Pandjaitan menegaskan bahwa reformasi KUHAP adalah pekerjaan besar yang harus tuntas demi menjawab tantangan zaman. Ia mengajak masyarakat luas untuk ikut memberi masukan selama proses penyusunan berlangsung. Pemerintah terbuka terhadap suara rakyat, karena hukum yang baik harus lahir dari partisipasi publik. Ini adalah bagian dari komitmen demokrasi yang dijunjung tinggi dalam proses legislasi nasional.
RUU KUHAP juga mengedepankan perlindungan terhadap kelompok rentan. Perempuan, anak-anak, lansia, dan penyandang disabilitas akan mendapatkan perlakuan khusus yang sesuai kebutuhan mereka. Pemerintah bahkan mengusulkan pemasangan kamera pengawas di ruang pemeriksaan dan penahanan untuk mencegah tindakan penyiksaan. Dengan langkah ini, negara memastikan tidak ada lagi ruang gelap dalam proses hukum.
Tak hanya itu, RUU ini mendorong penyelesaian alternatif di luar pengadilan melalui mekanisme diversi dan keadilan restoratif, terutama untuk perkara ringan dan kasus yang melibatkan anak. Negara ingin menciptakan ruang penyelesaian yang lebih humanis, bukan sekadar menghukum. Diversi akan mengurangi beban lembaga pemasyarakatan, mempercepat penyelesaian perkara, serta memulihkan hubungan sosial yang rusak akibat tindak pidana.
RUU KUHAP sejatinya adalah cerminan arah baru pembaruan hukum acara pidana yang diusung pemerintah. Reformasi ini tidak hanya soal memperbaiki prosedur, tapi juga menunjukkan komitmen negara terhadap keadilan sejati. Di dalamnya, pemerintah ingin menyeimbangkan antara kepastian hukum, perlindungan hak, dan efisiensi proses. Ini adalah langkah besar menuju Indonesia yang lebih beradab secara hukum.
Dalam suasana demokrasi yang sehat, RUU KUHAP menjadi bukti bahwa pemerintah tidak tinggal diam atas persoalan hukum yang sudah lama dikeluhkan masyarakat. Pemerintah sadar, keadilan bukan hanya tentang isi vonis di akhir sidang, tetapi tentang seluruh proses sejak awal: bagaimana aparat bekerja, bagaimana warga diperlakukan, dan bagaimana negara memastikan tidak ada yang dirugikan hanya karena miskin atau tak berdaya.
Dengan komitmen tinggi dari pemerintah dan dukungan aktif DPR, serta partisipasi publik yang semakin luas, kita patut menaruh harapan besar pada RUU KUHAP ini. Jika dijalankan dengan sungguh-sungguh, reformasi hukum acara pidana ini akan menjadi tonggak penting dalam sejarah penegakan hukum di Indonesia—sebuah langkah besar menuju sistem peradilan yang cepat, adil, dan berpihak pada rakyat.
*)Pengamat Isu Strategis