Oleh: Naufal Azhari )*
Pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto terus memperkuat komitmen dalam pemberantasan korupsi sebagai agenda prioritas nasional. Dalam berbagai forum resmi kenegaraan, Presiden secara konsisten menyampaikan peringatan keras kepada seluruh jajaran penyelenggara negara untuk segera melakukan perbaikan internal, membenahi tata kelola, dan menghindari segala bentuk penyimpangan kekuasaan. Pemerintah menilai bahwa stabilitas, keadilan, dan kesejahteraan hanya dapat terwujud jika praktik korupsi diberantas secara sistematis dan menyeluruh.
Presiden menekankan pentingnya konsolidasi kekuatan negara untuk menghadapi para pelaku korupsi yang masih bercokol dalam sistem pemerintahan. Pemerintah menyatakan tidak akan ragu mengambil tindakan tegas terhadap siapa pun yang tidak menunjukkan kesetiaan terhadap kepentingan bangsa. Komitmen ini mencerminkan arah kebijakan yang tidak kompromistis terhadap kejahatan yang merusak sendi-sendi demokrasi dan pembangunan nasional.
Penegasan tersebut bukan hanya bersifat simbolik. Pemerintah menunjukkan langkah konkret dengan membentuk sistem pengawasan yang lebih kuat dan berintegritas. Salah satu contohnya adalah reformasi di sektor penyelenggaraan haji, yang selama ini dinilai rawan terhadap praktik kolusi dan penyalahgunaan kewenangan. Untuk memastikan pengawasan berjalan optimal, Presiden menunjuk tujuh mantan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) guna memperkuat Badan Penyelenggara Haji.
Politisi Partai Gerindra, Hendarsam Marantoko, menyatakan bahwa penempatan para mantan penyidik KPK dalam sistem pengawasan penyelenggaraan haji mencerminkan perhatian khusus Presiden terhadap sektor tersebut. Menurutnya, walaupun kegiatan haji berlandaskan nilai-nilai keagamaan, praktik korupsi masih kerap terjadi, dan perlu pengawasan ekstra ketat. Langkah ini dinilai sebagai bagian dari upaya membangun sistem yang lebih bersih, terbuka, dan akuntabel di sektor pelayanan publik yang sangat sensitif bagi umat.
Keseriusan Presiden dalam membenahi berbagai sektor tak hanya tampak di wilayah keagamaan, tetapi juga dalam penindakan terhadap korupsi korporasi yang merugikan negara dan masyarakat luas. Kejaksaan Agung bersama KPK terus aktif mengungkap kasus-kasus besar sejak awal masa pemerintahan Prabowo. Salah satu kasus yang mendapat sorotan luas adalah perkara yang melibatkan mantan Direktur Utama PT Sritex. Penindakan terhadap kasus ini menjadi bukti nyata bahwa pemerintah tidak segan menindak pelaku kejahatan, sekalipun berasal dari kalangan industri besar.
Menteri Sekretaris Negara, Prasetyo Hadi, menilai bahwa pengusutan kasus PT Sritex menunjukkan kerja keras pemerintah dalam menegakkan hukum dan melindungi kepentingan publik. Ia menjelaskan bahwa dampak dari kasus tersebut tidak hanya bersifat ekonomi, tetapi juga sosial, mengingat ribuan karyawan kehilangan pekerjaan akibat perusahaan tidak mampu beroperasi secara optimal. Pemerintah melihat bahwa tindakan oknum di balik kasus ini tidak hanya mencederai sektor usaha tekstil, tetapi juga memperlihatkan celah dalam pengawasan perbankan yang perlu segera diperbaiki.
Masih menurut Prasetyo, kasus Sritex menjadi peringatan bahwa kredibilitas sistem keuangan nasional harus diperkuat, mengingat penyalahgunaan kewenangan dalam penyaluran kredit juga berkontribusi terhadap memburuknya kondisi perusahaan. Pemerintah menyadari bahwa pemberantasan korupsi harus melibatkan perbaikan menyeluruh, mulai dari sistem perizinan, manajemen risiko perbankan, hingga evaluasi kelayakan usaha. Hal ini penting untuk mencegah kerugian besar yang berdampak langsung kepada tenaga kerja dan stabilitas industri nasional.
Di sisi lain, pemerintah juga mendorong partisipasi publik dalam mengawal jalannya pemerintahan yang bersih. Presiden Prabowo mengajak masyarakat, khususnya generasi muda, untuk menggunakan teknologi sebagai alat kontrol sosial terhadap perilaku pejabat publik. Masyarakat didorong untuk aktif mengawasi, melaporkan, dan menyebarluaskan informasi jika menemukan penyimpangan. Pemerintah percaya bahwa kekuatan masyarakat dalam era digital dapat menjadi pelengkap penting dalam membentuk ekosistem antikorupsi yang lebih tangguh dan responsif.
Pemerintah juga menyadari pentingnya kerja sama internasional dalam memperluas jangkauan pemberantasan korupsi, terutama di era globalisasi ekonomi. Salah satu inisiatif penting adalah komitmen Indonesia untuk bergabung dalam Konvensi Anti Suap yang diinisiasi oleh Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD). Konvensi ini akan menjadi dasar hukum baru bagi KPK untuk menangani kasus suap lintas negara, khususnya yang melibatkan entitas korporasi dalam transaksi bisnis internasional.
Dengan bergabungnya Indonesia dalam konvensi ini, ruang lingkup kerja KPK akan diperluas, sehingga memungkinkan lembaga antirasuah itu menindak kejahatan korupsi di level global. Selama ini, keterbatasan regulasi membuat penindakan terhadap korupsi lintas batas sulit dilakukan. Pemerintah melihat ratifikasi konvensi OECD ini sebagai langkah strategis untuk memperkuat sistem hukum nasional dan menyesuaikannya dengan standar internasional.
Kebijakan dan tindakan nyata yang dilakukan pemerintah menunjukkan bahwa pemberantasan korupsi tidak hanya menjadi bagian dari janji kampanye, melainkan pilar utama dalam membangun negara yang berdaulat dan berkeadilan. Pemerintah tidak hanya mengandalkan penindakan, tetapi juga membangun sistem yang kuat untuk mencegah korupsi sejak dini melalui reformasi birokrasi, penguatan regulasi, serta kolaborasi dengan masyarakat dan komunitas internasional.
Semua ini menunjukkan bahwa agenda pemberantasan korupsi di era Presiden Prabowo Subianto bergerak secara komprehensif dan sistematis. Pemerintah tidak sekadar memperlihatkan ketegasan, tetapi juga konsistensi dalam setiap langkahnya, demi menciptakan pemerintahan yang bersih, kuat, dan berorientasi pada kepentingan rakyat. Dengan mengedepankan keberanian politik, integritas, serta kolaborasi lintas sektor, pemerintah menegaskan bahwa Indonesia tidak akan lagi mentoleransi korupsi dalam bentuk apa pun.
)* Penulis adalah kontributor Jurnal Khatulistiwa institute