Oleh: Ranti Swari )*
Keputusan Presiden Prabowo Subianto untuk menghapus sistem kuota impor menjadi penanda penting dalam agenda besar reformasi ekonomi nasional. Kebijakan ini tidak sekadar merespons dinamika global, melainkan juga merupakan langkah strategis untuk membangun ekosistem perdagangan yang lebih terbuka, transparan, dan efisien. Dalam konteks persaingan global yang makin ketat serta dominasi praktik rente dalam tata niaga selama ini, langkah Presiden memutuskan mengakhiri sistem kuota menjadi cerminan keberanian politik dan keberpihakan nyata pada iklim usaha yang sehat.
Penghapusan kuota impor bukan semata-mata pembukaan kran masuknya barang dari luar negeri. Langkah ini ditujukan untuk membongkar praktik diskriminatif dalam mekanisme distribusi impor yang selama ini hanya menguntungkan segelintir pihak. Ketentuan kuota sering kali menciptakan hambatan bagi pelaku usaha baru untuk masuk ke pasar, karena izin hanya diberikan kepada pihak tertentu yang telah mendapat akses eksklusif. Akibatnya, kompetisi pasar terdistorsi, harga menjadi tidak efisien, dan konsumen pun kehilangan alternatif produk.
Dalam konteks ini, dukungan dari berbagai kalangan terhadap langkah Presiden terlihat cukup solid. Anggota Komisi VI DPR RI, Rivqy Abdul Halim, misalnya, melihat rencana penghapusan kuota sebagai bentuk komitmen Presiden untuk membangun ekosistem perdagangan nasional yang lebih adil dan terbuka. Ia menilai pendekatan ini dapat meminimalisasi praktik rente yang selama ini melekat dalam proses impor dan sekaligus mendorong efisiensi ekonomi secara menyeluruh.
Menurut Rivqy dibutuhkan mitigasi serius terhadap potensi banjir produk asing dan kemungkinan tekanan terhadap pelaku usaha lokal. Oleh karena itu, pemerintah telah menyusun skema penyeimbang melalui relaksasi pajak, penyederhanaan regulasi usaha, hingga peninjauan ulang terhadap regulasi seperti Permendag Nomor 8 Tahun 2024 yang dinilai justru membebani pelaku usaha di beberapa sektor. Kebijakan ini akan menjadi instrumen konkret dalam menjaga daya saing industri nasional di tengah liberalisasi pasar.
Kementerian Keuangan turut memandang langkah ini sebagai perbaikan struktural yang sangat dibutuhkan. Menteri Keuangan Sri Mulyani menggarisbawahi bahwa sistem kuota selama ini tidak hanya tidak memberikan kontribusi fiskal kepada negara, tetapi juga memperumit tata kelola perdagangan internasional. Di sisi lain, kebijakan tersebut seringkali memperpanjang rantai distribusi dan membuka ruang ketidakpastian bagi pelaku usaha, yang pada akhirnya menurunkan efisiensi logistik nasional.
Pemerintah, melalui Kementerian Keuangan dan kementerian teknis lainnya, kini tengah menyiapkan sistem perizinan impor yang lebih modern dan berbasis teknologi informasi. Digitalisasi proses impor ini ditujukan untuk memangkas birokrasi, mempercepat arus barang, serta memperkecil ruang manipulasi dalam proses pengajuan izin. Langkah ini merupakan bagian dari transformasi digital nasional yang tidak hanya menyasar aspek ekonomi, tetapi juga memperkuat akuntabilitas tata kelola negara.
Dari sisi penguatan semangat kewirausahaan dan keterbukaan pasar, Ketua Umum DPP AMPI, Jerry Sambuaga menilai bahwa langkah Presiden membuka peluang impor seluas-luasnya bagi pelaku usaha memiliki dampak positif jangka panjang. Dengan akses yang lebih merata, pengusaha, terutama yang baru memulai, dapat berpartisipasi langsung dalam perdagangan internasional tanpa harus bergantung pada pihak ketiga. Ini akan memperkuat semangat kompetisi sehat, menurunkan harga produk, dan menambah alternatif pilihan bagi konsumen.
Jerry juga memastikan bahwa kebijakan ini tidak diarahkan kepada produk semata, tetapi kepada pelaku usahanya. Dengan memberikan kesempatan yang setara, pemerintah sedang membentuk struktur pasar yang lebih inklusif. Di saat yang sama, pemerintah tetap menaruh perhatian pada komoditas strategis yang bisa dikembangkan sebagai produk ekspor unggulan, sejalan dengan tren permintaan global yang terus meningkat.
Konteks geopolitik global juga menjadi latar belakang penting bagi pengambilan keputusan ini. Dengan adanya kebijakan tarif dari Amerika Serikat terhadap produk impor dari berbagai negara, termasuk Indonesia, pemerintah memandang bahwa penghapusan kuota dapat menjadi alat penyeimbang dalam menghadapi tekanan eksternal. Meski kebijakan tarif tersebut akhirnya ditunda, pemerintah tidak ingin berada pada posisi reaktif semata. Strategi jangka panjang tetap difokuskan pada diversifikasi mitra dagang dan penguatan posisi Indonesia dalam berbagai perjanjian perdagangan internasional.
Sejauh ini, kinerja perdagangan Indonesia menunjukkan performa yang positif. Surplus neraca perdagangan selama 56 bulan berturut-turut menjadi bukti bahwa Indonesia tidak hanya tangguh menghadapi tantangan global, tetapi juga memiliki daya saing tinggi di pasar dunia. Penyelesaian lebih dari 30 perjanjian dagang di lima benua juga menjadi fondasi kuat dalam menghadapi transformasi kebijakan perdagangan ke depan.
Salah satu pilar utama yang diperkuat adalah sektor UMKM. Meski kontribusi ekspor UMKM masih rendah, sektor ini menyumbang sekitar 61% terhadap Produk Domestik Bruto dan menjadi tulang punggung ketenagakerjaan nasional. Oleh karena itu, kebijakan penghapusan kuota tidak dirancang untuk melemahkan UMKM, melainkan justru untuk memperluas akses mereka terhadap bahan baku, teknologi, dan pasar global.
Keseluruhan arah kebijakan ini menunjukkan keberanian Presiden Prabowo dalam menata ulang fondasi perdagangan nasional. Dengan menempatkan transparansi, efisiensi, dan keterbukaan sebagai prinsip dasar, pemerintah tidak hanya merespons persoalan jangka pendek, tetapi juga tengah membangun ekosistem perdagangan yang berkelanjutan dan tahan terhadap guncangan global. Dalam visi ini, keberpihakan terhadap pelaku usaha nasional, perlindungan terhadap konsumen, serta penciptaan iklim usaha yang sehat berjalan beriringan dalam satu kerangka besar reformasi ekonomi Indonesia.
)* Pemerhati Masalah Perdagangan & Ekonomi Luar Negeri