Oleh : Darius Daryono )*
Pemungutan Suara Ulang (PSU) dalam rangkaian Pilkada Serentak 2024 menandai sebuah tonggak penting dalam perjalanan demokrasi Indonesia. Tidak hanya sebagai tahapan teknis yang mesti dijalankan sesuai ketentuan hukum, PSU menunjukkan bahwa sistem demokrasi Indonesia memiliki mekanisme korektif yang tangguh dan responsif terhadap dinamika di lapangan. Dalam konteks ini, PSU menjadi simbol nyata bahwa demokrasi Indonesia bukanlah sistem yang stagnan, melainkan sistem yang mampu berkembang dan memperbaiki diri.
Pelaksanaan PSU di berbagai daerah berlangsung dengan lancar dan tertib. Situasi ini tentu tidak terlepas dari kerja keras serta profesionalisme penyelenggara Pemilu di akar rumput, khususnya Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang menunjukkan dedikasi tinggi dalam menjalankan tugasnya. Anggota KPU RI, Yulianto Sudrajat, menggarisbawahi rasa terima kasih dan apresiasi kepada para petugas lapangan yang telah memastikan bahwa PSU dapat berjalan dengan prinsip jujur dan adil. Minimnya keluhan dari masyarakat menjadi bukti bahwa integritas proses benar-benar dijaga.
Keberhasilan PSU merupakan hasil kolaborasi lintas sektor. Peran pengawas Pemilu, dalam hal ini Bawaslu, menjadi sangat signifikan dalam menciptakan atmosfer yang transparan dan akuntabel. Koordinator Divisi Hukum, Pencegahan, Partisipasi Masyarakat, dan Humas Bawaslu Gorontalo Utara, Fadli Bukoting, menyatakan bahwa laporan akhir pengawasan PSU telah disampaikan kepada Bawaslu RI sebagai bentuk akuntabilitas publik. Ini menunjukkan bahwa proses pengawasan tidak hanya dilakukan secara aktif, tetapi juga dijalankan secara terbuka dan bertanggung jawab, memperkuat legitimasi hasil pemilihan.
Di sisi lain, kedewasaan politik para kontestan Pemilu juga memegang peran krusial dalam menjaga stabilitas pasca-PSU. Dalam sebuah kutipan, anggota KPU RI, Iffa Rosita, mengimbau kepada seluruh pasangan calon dan pendukungnya untuk menerima hasil PSU dengan lapang dada. Menurutnya, jika semua proses telah dilalui sesuai aturan, maka menggugat kembali hasil ke Mahkamah Konstitusi justru berpotensi mengganggu stabilitas politik dan sosial di tingkat lokal. Penerimaan hasil PSU merupakan bentuk kematangan demokrasi yang menunjukkan bahwa politik Indonesia semakin menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan, keterbukaan, dan tanggung jawab.
Hal ini juga ditekankan oleh tokoh masyarakat dan agama. Ketua Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, KH. Muhammad Askin, mengajak masyarakat untuk menjauhi konflik akibat perbedaan pilihan politik dan kembali memperkuat persatuan. Menurutnya, demokrasi sejati adalah yang mampu merangkul seluruh elemen dalam semangat kebersamaan, bukan yang terus menerus menyalakan bara perpecahan. Keteladanan dari tokoh agama seperti inilah yang menjadi penopang moralitas dalam sistem politik yang kerap penuh gejolak.
Di Papua, proses PSU juga menunjukkan kesungguhan semua pihak dalam menjamin keabsahan dan keterbukaan. Anggota KPU Sarmi, Saddam Renggiwur, dijelaskan bahwa pembukaan kotak suara dilakukan secara hati-hati, fokus pada verifikasi daftar hadir dan dokumen penting lainnya, serta berada di bawah pengawasan ketat Bawaslu dan Polres Sarmi. Komitmen dari aparat keamanan untuk menjaga situasi tetap kondusif, seperti disampaikan AKP Riyanto dari Polres Sarmi, menjadi jaminan bahwa PSU berjalan aman, tertib, dan transparan.
Wakil Gubernur Papua Selatan, Paskalis Imadawa, juga mengingatkan pentingnya pelaksanaan PSU yang bersih agar tidak terjadi PSU ulang yang akan memakan biaya besar dan memperlambat laju pembangunan. Paskalis menekankan bahwa jika PSU dilakukan berulang-ulang, maka pertumbuhan dan kemajuan daerah akan terhambat. Seruannya kepada penyelenggara, calon kepala daerah, dan masyarakat agar tidak menyisakan ruang bagi konflik dan pelanggaran baru menjadi cerminan dari keprihatinan sekaligus harapan terhadap keberlangsungan demokrasi yang sehat.
Tidak kalah penting adalah pelajaran dari isu PSU dalam konteks tata kelola permukiman. Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan melalui Sekretaris Disperkim Kalsel, Rusidah tengah mendorong percepatan serah terima Prasarana, Sarana, dan PSU dari pengembang kepada pemerintah daerah. Langkah ini merupakan upaya konkret untuk memastikan bahwa pembangunan kawasan permukiman berjalan seiring dengan pemenuhan hak dasar warga. Keterkaitan istilah PSU dalam dua konteks ini (elektoral dan permukiman) memperlihatkan bahwa akuntabilitas dan keterbukaan adalah prinsip universal yang harus dijunjung dalam seluruh aspek tata kelola pemerintahan.
Proses PSU di Pilkada Serentak 2024 juga harus dijadikan sebagai bahan evaluasi bersama. Ini bukan sekadar koreksi prosedural, tetapi refleksi atas masih adanya kelemahan administratif dan teknis yang harus dibenahi. KPU, Bawaslu, partai politik, serta seluruh elemen masyarakat harus menjadikan pengalaman ini sebagai pendorong untuk memperkuat sistem Pemilu ke depan. Perbaikan menyeluruh terhadap pelaksanaan Pemilu, termasuk peningkatan kapasitas sumber daya manusia, transparansi dalam logistik dan teknologi, serta peningkatan literasi politik masyarakat harus menjadi agenda strategis nasional.
Akhirnya, yang paling menentukan kualitas demokrasi bukan hanya siapa yang menang dalam sebuah kontestasi, tetapi bagaimana semua pihak bersikap dalam menghadapi hasilnya. Penerimaan terhadap hasil PSU menjadi tolok ukur dari kedewasaan politik, kematangan institusional, serta kemauan kolektif untuk menempatkan kepentingan bangsa di atas segalanya. Demokrasi Indonesia sedang menguji dirinya sendiri, dan sejauh ini, bangsa ini membuktikan bahwa ia mampu tumbuh, memperbaiki, dan melangkah ke arah yang lebih baik. Di sinilah masa depan demokrasi itu dijaga, bukan hanya dalam kotak suara, tetapi dalam hati dan kesadaran setiap warga negara.
)* Pengamat Politik dan Tata Negara