JAKARTA – Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyatakan komitmennya untuk memperketat pengawasan terhadap seluruh aktivitas pertambangan nikel di wilayah Kabupaten Raja Ampat, Provinsi Papua Barat Daya.
Langkah ini diambil sebagai respons atas kekhawatiran publik terkait potensi kerusakan lingkungan dan ancaman terhadap keanekaragaman hayati di kawasan konservasi tersebut.
Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menyatakan pihaknya telah menurunkan tim inspektur tambang untuk melakukan evaluasi teknis terhadap seluruh Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) yang beroperasi di Raja Ampat. Ia menegaskan bahwa meskipun perusahaan-perusahaan tersebut memiliki izin resmi, evaluasi tetap akan dilakukan secara berkelanjutan untuk menjamin keberlangsungan lingkungan.
“Kementerian ESDM menegaskan bahwa seluruh kegiatan pertambangan di Raja Ampat diawasi secara ketat dan transparan,” ujar Bahlil.
Pengawasan tersebut mencakup aspek legalitas, perlindungan lingkungan hidup, serta kepatuhan terhadap kawasan konservasi dan hutan lindung.
“Evaluasi dilakukan sesuai Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, yang mewajibkan reklamasi dilakukan dengan mempertimbangkan manfaat teknis, lingkungan, dan sosial,” kata Bahlil.
Di tengah sorotan publik dan dorongan dari berbagai pihak, pemerintah menegaskan bahwa kebijakan industri di kawasan konservasi akan ditentukan secara transparan, berbasis data, serta dengan mempertimbangkan seluruh aspek ekologis, sosial, dan hukum.
“Komitmen kami jelas: menjaga keseimbangan antara pembangunan ekonomi dan keberlanjutan lingkungan. Melarang itu bukan seterusnya ya. Untuk sementara kegiatan produksinya disetop dulu sampai menunggu hasil peninjauan verifikasi dari tim saya,,” tegas Bahlil.
Langkah pengawasan ini juga mendapatkan dukungan dari legislatif. Ketua Komisi VII DPR RI, Saleh Partaonan Daulay, menegaskan pentingnya menjaga kelestarian alam Raja Ampat demi generasi mendatang. Dalam kunjungan kerjanya ke wilayah tersebut, Saleh menyatakan keprihatinannya atas dampak lingkungan dari aktivitas pertambangan yang berpotensi merusak kawasan wisata unggulan itu.
“Jangan sampai, perusahaannya dapat untung, lingkungan dan masyarakat di sekitarnya rusak. Alam dan lingkungan harus dijaga untuk masa depan anak-anak Papua,” kata Saleh.
Senada dengan itu, Ketua Fraksi Partai Gerindra DPR RI, Budisatrio Djiwandono, menyatakan bahwa hilirisasi nikel sebagai proyek strategis nasional harus tetap mengedepankan prinsip keberlanjutan, khususnya di wilayah bernilai ekologis tinggi seperti Raja Ampat.
“Raja Ampat tidak bisa dilihat semata-mata dari kacamata industri ekstraktif. Ada nilai ekologis, sosial, budaya, dan ekonomi jangka panjang yang jauh lebih besar jika kawasan ini dikelola secara bijak,” tutur Budisatrio.
Menurutnya, Raja Ampat merupakan salah satu pusat keanekaragaman hayati laut terkaya di dunia yang harus dijaga bersama. Oleh karena itu, ia mendorong agar pemerintah pusat dan daerah, DPR, serta masyarakat sipil bekerja sama dalam mengawal kebijakan tambang yang berkelanjutan.
Saat ini, terdapat lima perusahaan tambang yang memiliki izin beroperasi di wilayah Raja Ampat. Di antaranya adalah PT Gag Nikel dan PT Anugerah Surya Pratama (ASP) yang memperoleh izin dari pemerintah pusat, serta PT Mulia Raymond Perkasa (MRP), PT Kawei Sejahtera Mining (KSM), dan PT Nurham yang memperoleh izin dari pemerintah daerah. Namun demikian, Menteri Bahlil memutuskan untuk menghentikan sementara operasi PT Gag Nikel sejak 5 Juni 2025 hingga evaluasi selesai dilakukan.
(*/rls)