Nasionalisme Masyarakat Tetap Berkibar di Tengah Arus Budaya Pop Simbol Bajak Laut

oleh -1 Dilihat
oleh
banner 468x60

Oleh : Wijayanto Raka Sadewa*)

Memasuki bulan Agustus, euforia jelang HUT ke-80 Kemerdekaan RI kian terasa di kampung-kampung, sekolah, kantor, hingga ruang-ruang komunal. Di sisi lain, merebak fenomena pengibaran simbol “bajak laut” ala One Piece yang memantik silang-pendapat, yaitu antara kreativitas ekspresi warga dan penghormatan pada lambang negara. Persilangan inilah ketahanan nasionalisme warga diuji, dan sejauh ini, publik menunjukkan kedewasaan untuk tetap menempatkan Merah Putih sebagai pusat perayaan kemerdekaan.

banner 336x280

Beberapa hari terakhir, pemerintah menggarisbawahi dua pesan kunci. Pertama, Bendera Merah Putih tetap menjadi kewajiban sepanjang bulan Agustus sesuai pedoman peringatan HUT RI ke-80. Surat edaran dan pemberitaan pekan ini kembali menegaskan syarat serta tata cara pengibaran bendera, sekaligus mengingatkan apa yang tidak boleh dilakukan misalnya menempatkan simbol lain sejajar atau lebih tinggi dari bendera negara. Penekanan ini penting sebagai rambu etik sekaligus hukum, agar semarak kemerdekaan tetap berada dalam koridor penghormatan terhadap simbol negara.

Kemudian, pemerintah juga menunjukkan pendekatan yang relatif seimbang terhadap fenomena bendera bajak laut. Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi, menyatakan bahwa ekspresi kreatif warga, termasuk bendera One Piece, pada dasarnya tidak dipersoalkan selama tidak dibenturkan dengan Merah Putih atau ditempatkan seolah menandingi simbol negara. Pesan ini krusial, artinya negara mengakui ruang berekspresi, namun meminta agar penghormatan pada bendera nasional tetap dijaga. Pendekatan yang tidak reaktif ini membantu menurunkan tensi, sekaligus mendorong publik menjaga proporsi antara kritik, hiburan pop, dan etika kenegaraan.

Aparatur pertahanan dan keamanan menggerakkan energi kebangsaan secara afirmatif. Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto menginstruksikan satuan-satuan TNI di daerah mendorong pemasangan bendera Merah Putih di rumah, kantor, dan ruang-ruang publik, serta membagikan ribuan bendera kepada warga. Alih-alih pendekatan koersif, langkah ini menghidupkan partisipasi dan sense of belonging bahwa Merah Putih hadir karena diajak, bukan dipaksakan. Praktik seperti pembagian 1.000 bendera ini menjadi contoh bagaimana institusi negara merawat nasionalisme melalui tindakan positif dan dekat dengan warga.

Meski demikian, Menteri Koordinator Politik dan Keamanan Budi Gunawan mengingatkan bahwa dimensi legal saat simbol-simbol non-negara diperlakukan seolah menandingi lambang negara. Peringatan ini berfungsi sebagai pagar untuk mencegah eskalasi dari sekadar ekspresi budaya pop ke tindakan yang berpotensi menistakan simbol negara. Keseimbangan antara afirmasi ruang ekspresi dan penegasan batas hukum menjadi kombinasi yang diperlukan dalam iklim demokrasi yang sehat.

Dari perspektif sosial, fenomena “bendera bajak laut” bisa dibaca sebagai tiga hal. Pertama, kanal ekspresi generasi muda yang akrab dengan budaya pop dan simbol-simbol global ini bukan hal baru dalam masyarakat modern. Kedua, ada muatan kritik yang di sebagian kelompok, disalurkan dengan bahasa simbolik yang mudah dikenali. Ketiga, terdapat kebutuhan akan ruang dialog agar simbol-simbol itu tidak menegasikan rukun sosial. Di sini pemerintah dengan tegas harus memprioritaskan Merah Putih sekaligus mengakui ruang ekspresi tanpa mengambil jalur moderasi yang selaras dengan semangat kebangsaan yang inklusif.

Praktik di lapangan menunjukkan masyarakat menjawab ajakan tersebut di mana kirab bendera raksasa, kampanye pengecatan lingkungan, pemasangan umbul-umbul, hingga gerakan pembagian bendera berkembang di banyak daerah. Di Bogor, misalnya, kirab Merah Putih sepanjang ratusan meter menjadi magnet partisipasi warga. Peristiwa semacam ini bukan sekadar seremonial, namun memperkuat kohesi sosial, menghadirkan kebanggaan bersama, dan membumikan nasionalisme dalam pengalaman komunal, bukan sekadar slogan.

Di tingkat narasi, ulang tahun ke-80 kemerdekaan memanggil kita kembali ke nilai dasar yaitu pada persatuan, martabat, dan kewargaan aktif. Pemerintah telah merilis tema dan pedoman perayaan, sementara ruang publik dipenuhi inisiatif warga. Dalam konteks perdebatan simbol “bajak laut”, pesan yang perlu terus dinyaringkan adalah kritik dan kreativitas sah adanya, namun jangan mengaburkan hierarki simbolik. Merah Putih adalah penanda kedaulatan yang berdarah-darah diperjuangkan para pendiri bangsa. Dengan menempatkan Merah Putih sebagai payung, setiap ekspresi warga dapat hidup berdampingan tanpa saling meniadakan.

Menjaga semangat nasionalisme di tengah arus budaya pop global tidak berarti menutup diri. Nasionalisme yang matang justru mampu menyerap, memilah, dan menempatkan pengaruh luar pada posisi yang proporsional. Ketika simbol-simbol baru masuk, masyarakat kita ditantang untuk mengartikulasikan kembali jati diri kebangsaan secara percaya diri tanpa inferioritas, dan tanpa arogansi. Pada dasarnya, pemerintah memiliki sinyal yang senada, rayakan kemerdekaan dengan riang, jaga Merah Putih sebagai mahkota, dan salurkan kritik secara bermartabat. Dengan kerangka itu, HUT ke-80 RI menjadi momentum untuk meneguhkan nasionalisme yang cerdas, terbuka, dan beradab. Hal ini menunjukkan sebuah nasionalisme yang tidak mudah diombang-ambing oleh simbol lain, tetapi justru mampu memaknai simbol dalam terang nilai-nilai Pancasila.

)* Penulis Merupakan Pengamat Sosial

banner 336x280

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.