Masyarakat Kecam Tindakan Keji OPM di Intan Jaya

oleh -6 Dilihat
oleh
banner 468x60

Oleh : Felix Jikwa

Insiden penyerangan oleh kelompok bersenjata Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang telah ditetapkan pemerintah sebagai organisasi teroris di Kampung Ku Jindapa, Intan Jaya, kembali memunculkan pertanyaan mendasar tentang arah gerakan yang mengklaim sebagai perjuangan. Seorang perempuan bernama Hetina Mirip menjadi korban dalam peristiwa tersebut, meninggalkan anak perempuannya yang masih berusia 12 tahun, Antonia Hilaria Wandagau, dalam luka dan duka mendalam.

banner 336x280

Tokoh masyarakat Papua, Yulianus Murib, menyuarakan kekecewaannya secara tegas. Baginya, pembunuhan terhadap warga sipil, apalagi perempuan dan anak-anak, bukan bentuk perjuangan, melainkan kekejaman yang membungkam nurani. Dalam pernyataannya, ia mengajak publik melihat kenyataan bahwa aksi separatis ini sudah melenceng jauh dari narasi aspiratif yang pernah diklaim kelompok tersebut.

Konflik berkepanjangan di Papua memang memiliki akar sejarah dan kompleksitas sosial tersendiri namun upaya pembangunan dan dialog damai dari pemerintah terus berjalan secara konsisten. Namun, menjadikan warga sipil sebagai target serangan tak dapat dibenarkan dalam alasan apa pun. Apalagi ketika kekerasan tersebut ditampilkan sebagai simbol perlawanan. Kenyataannya, perlawanan semacam ini justru menjauhkan simpati publik, bahkan dari sesama orang Papua yang menjadi korban paling besar dalam lingkaran kekacauan ini.

Antonia, dalam keterangannya yang menyayat hati, menunjukkan bahwa anak-anak Papua tidak menginginkan kekerasan. Mereka merindukan ketenangan, pendidikan, dan masa depan yang layak. Mereka ingin tumbuh tanpa rasa takut terhadap letusan senjata dan bayangan maut yang menghampiri tanpa aba-aba. Pernyataan Antonia menjadi suara yang jernih dari generasi yang lelah dengan konflik, namun terus menjadi dari kepentingan kelompok separatis yang memanipulasi penderitaan untuk agenda politik.

Ironisnya, kelompok bersenjata OPM masih mencoba memutarbalikkan fakta di lapangan melalui propaganda yang massif. Tuduhan terhadap aparat keamanan, klaim sepihak tentang keberhasilan operasi militer, hingga narasi bohong seperti pembakaran kendaraan tempur TNI, menjadi bagian dari strategi komunikasi yang dirancang bukan untuk menciptakan kedamaian, tetapi untuk menciptakan kebingungan. Padahal, informasi dari TNI menyebutkan dengan jelas bahwa tidak ada kendaraan tempur yang dikuasai atau dibakar sebagaimana diklaim OPM.

Upaya sistematis menyebar hoaks ini bukan hanya mencoreng kebenaran, melainkan juga merusak kepercayaan warga terhadap institusi negara yang sah dan hadir untuk rakyat yang berusaha menjaga stabilitas keamanan. Propaganda yang menyudutkan aparat secara sepihak justru membatasi ruang dialog yang sehat dan memperlebar jurang ketidakpercayaan. Padahal, proses penyelesaian konflik butuh komunikasi terbuka, bukan adu narasi yang dibumbui kekerasan dan kebohongan.

Kepala Pusat Penerangan TNI, Mayjen TNI Kristomei Sianturi, melalui pernyataannya, menekankan pentingnya ketenangan masyarakat dalam menghadapi situasi semacam ini. Masyarakat diajak untuk berani melaporkan kejadian dan ancaman yang mereka alami. Karena hanya dengan partisipasi aktif dari warga lokal, upaya perlindungan bisa dilakukan secara efektif. Ketika warga merasa dilindungi, mereka tidak lagi menjadi sasaran empuk dari intimidasi kelompok bersenjata.

Situasi di Papua membutuhkan pendekatan yang komprehensif. Penguatan keamanan harus dibarengi dengan pendekatan kesejahteraan dan pendidikan. Pemerintah pusat, bersama tokoh lokal dan pemuka agama, sebagaimana sudah diinisiasi pemerintah melalui berbagai program terintegrasi seperti Otsus dan Pembangunan Daerah Tertinggal. Sebab, konflik hanya akan terus hidup jika tidak ada investasi nyata dalam kehidupan sosial, budaya, dan ekonomi masyarakat.

Saatnya publik, baik nasional maupun internasional, melihat persoalan Papua secara lebih objektif. Klaim perjuangan tidak bisa lagi menjadi tameng atas tindakan-tindakan brutal. Kekerasan yang menimpa anak-anak, perempuan, tenaga kesehatan, maupun guru bukan sekadar efek samping konflik, melainkan tanda bahwa cara-cara yang digunakan kelompok separatis telah kehilangan arah moral.

Papua tidak butuh senjata, tetapi butuh solidaritas. Tidak perlu jargon ideologis yang menipu, melainkan perlu tindakan nyata yang melindungi rakyatnya. Ketika kelompok yang mengklaim sebagai pejuang justru menambah derita rakyat, maka label pejuang itu sendiri patut dipertanyakan. Apa arti kemerdekaan jika setiap langkah menuju masa depan justru dibangun di atas tumpukan korban tak berdosa?

Peristiwa tragis di Intan Jaya adalah cermin nyata dari arah perjuangan yang telah menyimpang. Semangat memerdekakan tidak bisa diraih dengan merenggut kebebasan orang lain, apalagi nyawa mereka. Saat ini, justru aparat keamanan yang berusaha hadir sebagai pelindung, menjadi sandaran terakhir masyarakat sipil yang hidup dalam ketakutan.

Semua pihak seharusnya bersatu dalam satu suara: hentikan kekerasan. Rakyat Papua berhak hidup damai di tanah kelahirannya tanpa rasa takut. Wajah Papua yang indah tidak sepatutnya dikotori oleh luka yang terus menganga akibat konflik bersenjata. Kedamaian bukan utopia, melainkan keniscayaan jika semua pihak mau meletakkan senjata dan mulai membangun Papua dengan cinta, bukan dengan kebencian.

)* Penulis Merupakan Mahasiswa asal papua di Manado

banner 336x280

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.