Oleh : Ricky Rinaldi
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) di Papua berkembang jauh melampaui sekadar kebijakan nasional. Kini, di kampung-kampung, program ini telah menjadi napas kehidupan yang mengalir melalui tradisi, kearifan lokal, dan cinta masyarakat adat terhadap komunitas mereka. Bupati Jayapura, Yunus Wonda, menegaskan bahwa tanpa keterlibatan masyarakat adat, MBG tidak akan memiliki akar yang kuat; tradisi berkebun, menangkap ikan, dan memanen hasil kebun yang diwariskan turun-temurun menjadi bagian vital dari rantai pangan lokal. Karena peran mereka, MBG tidak hanya mengenyangkan perut, tetapi juga menyentuh budaya dan hati masyarakat.
Pemerintah daerah kini tengah memetakan peran masyarakat adat dari proses produksi hingga distribusi untuk memastikan MBG menjadi bagian rutin kehidupan masyarakat, bukan program sesaat. Penempatan masyarakat adat sebagai pengendali utama pasokan pangan sehat ke sekolah-sekolah memperkuat posisi mereka sebagai pelaku utama keberlanjutan. Pendekatan ini dirancang sebagai intervensi jangka panjang, menyelaraskan gaya hidup sehat, tradisi, dan nilai kemandirian pangan komunitas.
Yunus Wonda menekankan bahwa keberhasilan MBG menuntut sinergi antara pemerintah, masyarakat adat, pendidikan, dan kesehatan. Kolaborasi ini diharapkan mendorong dampak nyata tidak sekadar di atas kertas terhadap keluarga dan anak-anak di kampung. Ia meyakini keterlibatan masyarakat adat akan turut memacu ekonomi lokal; kegiatan seperti berkebun, beternak, dan membudidayakan ikan dalam rangka MBG menciptakan arus ekonomi sehat dan membuka peluang usaha baru serta memperkuat ketahanan pangan desa.
Lebih dari sekadar ekonomi, MBG juga melestarikan budaya kuliner adat. Memprioritaskan pangan lokal dalam diet harian tradisi, nilai, dan rasa khas diwariskan kepada generasi muda. Ini membangun kebanggaan identitas adat dan pondasi masa depan yang sehat serta mandiri.
Dukungan MBG juga datang dari tokoh adat. Tokoh adat Sentani, Yansen Ohee, menyampaikan bahwa Papua menghadapi tantangan serius dalam pemenuhan gizi, terutama di pedalaman. Baginya, MBG adalah harapan bagi orang tua merajut masa depan anak-anak. Ia menegaskan bahwa tanpa tubuh sehat, pendidikan menjadi tak bermakna. Sekretaris Dewan Adat Suku Moy, Benhur Yaboisembut, menyatakan bahwa MBG adalah solusi nyata menekan malnutrisi dan stunting serta meningkatkan prestasi belajar. Ia melihat peluang pemberdayaan ekonomi lokal melalui suplai pangan oleh petani dan nelayan kampung, sekaligus menyambut program ini dengan rasa syukur dan harapan agar anak-anak Papua tumbuh lebih cerdas karena gizi memadai.
Lebih lanjut, Badan Gizi Nasional (BGN) menyebut MBG membuka ruang partisipasi masyarakat di Jayapura. Pendamping Mitra Sukses MBG, Bagus Septiyan, menyampaikan kunjungan ke dapur SPPG Robhing di Sentani menyoroti pentingnya kebersihan, fasilitas lengkap, dan pengelolaan limbah dapur sebagai wujud kesiapan. Ia juga mencatat antusiasme tinggi masyarakat sekitar Danau Sentani. BGN percaya dapur MBG yang dikelola masyarakat adalah strategi berkelanjutan sesuai arahan Presiden.
Secara lebih luas, MBG telah dilaksanakan di empat daerah di Papua: Kota Jayapura, Sarmi, Yapen, dan Biak. Penjabat Gubernur Papua, Ramses Limbong, menyebut pelaksanaannya bersifat bertahap dan kebutuhan dapur gizi di Kota Jayapura mencakup pembangunan sekitar 20 unit, sementara baru satu yang aktif melayani sekitar 3.000–3.500 siswa. Ini menunjukkan tantangan logistik dan pentingnya penyebaran dapur demi cakupan program lebih luas.
Pelaksanaan MBG di Kabupaten Jayapura juga diperluas ke beberapa sekolah. Pada 22 April 2025, MBG dilaksanakan di SMP Negeri 1 Sentani, TK Ria Sentani, dan SD YPK Sentani dengan sekitar 3.300 siswa menikmati paket bergizi seharga Rp20.000 per porsi yang mencakup nasi, ikan goreng, tahu krispi, sayur, dan lauk lainnya. Pelaksanaan ini berlangsung bertahap untuk menjaga kualitas makanan dan efisiensi dapur.
Biro Pengadaan Barang dan Jasa Papua mencatat bahwa pelaku usaha lokal juga memperoleh manfaat dari program MBG melalui pengadaan berbasis e-katalog. Kepala Biro, Debora Salosa, mendorong pelaku usaha orang asli Papua untuk aktif dalam sistem tersebut agar ekonomi lokal tetap berjalan meski anggaran terbatas.
Lebih banyak tokoh adat menyatakan dukungan mereka. Di Waropen, tokoh masyarakat Wonti, Kaleb Woisiri, menyebut MBG sebagai investasi masa depan anak-anak Papua. Ismail Ulof, Kepala Suku Elseng Keerom, mendesak pelaksanaan MBG di wilayahnya agar anak tetap sehat dan siap belajar. Ondoafi Kampung Senggi, Matias Manggu, siap mengawal agar program berjalan tepat sasaran. Kepala Suku Manirem Sarmi, Billy Kreuw, dan Anggota DPRK sekaligus Kepala Suku Sobey, Adolf Wersementawar, menilai kolaborasi pemerintah dan masyarakat adalah kunci keberhasilan. Di Yapen, Sekretaris Umum Dewan Adat Yapen, Alex Sangganefa, mengingatkan untuk menjaga kesinambungan program agar manfaatnya luas dirasakan. Dan di Kota Jayapura, Ketua LMA Port Numbay, George Arnold Awi, menyoroti bahwa MBG meringankan beban orang tua dan memberi solusi atas masalah gizi anak-anak Papua.
Gambaran yang muncul menunjukkan MBG bukan hanya program gizi, tetapi membentuk ekosistem kesejahteraan, ekonomi, dan budaya yang saling menguatkan. Ketika masyarakat adat menjadi pelaku aktif, manfaatnya tidak sekadar instan, tetapi menjadi bagian budaya hidup sehat yang tertanam dalam komunitas.
Kini aktivitas harian seperti berkebun, panen hasil tani, dan merawat ternak di berbagai kampung bukan hanya rutinitas, tetapi bagian dari gerakan produktif membangun masa depan. MBG bukan hanya tentang makan hari ini; ini adalah upaya mencetak generasi tangguh, memperkuat ekonomi lokal, dan menjaga warisan budaya tetap berkembang.
*) Pengamat isu strategis
[edRW]