Oleh: Doni Kurniawan(*
Langkah pemerintah untuk menghentikan impor beras, jagung, dan gula pada tahun 2025 hingga 2026 merupakan titik balik penting dalam perjalanan bangsa menuju kemandirian pangan. Kebijakan ini tidak hanya menunjukkan peningkatan produktivitas sektor pertanian, tetapi juga merefleksikan keberhasilan strategi nasional dalam memperkuat ketahanan pangan di tengah tantangan global.
Pernyataan Menteri Koordinator Bidang Pangan, Zulkifli Hasan, baru-baru ini menyampaikan sinyal optimisme sekaligus pencapaian konkret yang patut diapresiasi. Ia menyebutkan bahwa pasokan dalam negeri untuk komoditas strategis seperti beras, jagung, dan gula saat ini melimpah. Bahkan, per Mei 2025, Indonesia telah berhasil mengamankan 3,9 juta ton stok beras. Ini adalah lompatan besar jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya, di mana Indonesia masih harus mengimpor 3,8 juta ton beras untuk menutupi kekurangan produksi.
Perubahan drastis ini mencerminkan kerja keras dan kolaborasi lintas sektor dalam mendongkrak produksi pangan nasional. Selain faktor cuaca yang relatif mendukung, hasil ini tidak lepas dari optimalisasi program-program pertanian pemerintah seperti ekstensifikasi lahan, subsidi pupuk yang lebih tepat sasaran, modernisasi alat pertanian, serta penguatan distribusi dan tata niaga hasil pertanian.
Dalam konteks global, swasembada pangan adalah indikator utama dari kedaulatan negara. Negara yang mampu memenuhi kebutuhan pangannya secara mandiri memiliki resiliensi yang lebih tinggi terhadap gejolak harga internasional, krisis pangan global, serta gangguan rantai pasok akibat konflik atau perubahan iklim.
Menurut Eliza Mardian, Pengamat Pertanian dari Center of Reform on Economics (Core) Indonesia, Indonesia sudah bisa dikategorikan sebagai negara swasembada pangan berdasarkan definisi dari Food and Agriculture Organization (FAO). FAO menyatakan bahwa suatu negara disebut swasembada apabila mampu memenuhi minimal 90% kebutuhan pangan pokoknya dari produksi dalam negeri. Indonesia, dengan produksi beras domestik yang menutupi lebih dari 90% kebutuhan konsumsi nasional, memenuhi syarat tersebut.
Pandangan ini memperkuat bahwa keberhasilan tahun ini bukan sekadar pencapaian sesaat, melainkan buah dari kebijakan yang konsisten dalam memberdayakan petani dan memperkuat ekosistem pangan nasional. Peran petani sebagai garda depan ketahanan pangan menjadi semakin strategis dan perlu terus diperkuat.
Selain aspek ketahanan, keberhasilan menghentikan impor pangan strategis juga memberi dampak langsung terhadap ekonomi nasional. Wakil Menteri Keuangan, Anggito Abimanyu, mengungkapkan bahwa meskipun Indonesia tidak lagi mengimpor beras, jagung, dan gula, penerimaan negara dari sektor bea masuk tetap tumbuh positif sebesar 4,3% secara tahunan. Ini menunjukkan bahwa kinerja perdagangan masih terjaga baik, bahkan semakin kuat di sektor-sektor lain.
Lebih jauh, kontribusi sektor pertanian terhadap penerimaan negara juga menunjukkan tren positif. Penerimaan dari bea keluar mengalami lonjakan signifikan hingga 95,9%, mencapai Rp11,3 triliun. Artinya, selain mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri, Indonesia juga mulai mengekspor hasil pertaniannya, yang merupakan indikator kuat dari daya saing sektor ini di pasar global.
Fakta-fakta ini semakin memperkuat bahwa pertanian bukan hanya sektor penyangga ketahanan pangan, tetapi juga kontributor penting bagi pertumbuhan ekonomi nasional. Investasi di bidang pertanian, baik dalam bentuk teknologi, pelatihan petani, maupun infrastruktur pendukung, telah mulai menunjukkan hasil nyata.
Langkah untuk tidak lagi mengandalkan impor beras, jagung, dan gula bukanlah akhir dari perjuangan, melainkan awal dari komitmen panjang menuju kemandirian yang berkelanjutan. Tantangan ke depan tetap besar, mulai dari dampak perubahan iklim, fluktuasi harga pupuk dan input pertanian lainnya, hingga ancaman alih fungsi lahan.
Namun, dengan sinergi antarpemangku kepentingan mulai dari pemerintah pusat dan daerah, petani, akademisi, hingga sektor swasta, Indonesia berada di jalur yang tepat. Hal ini menjadi momentum penting untuk memperkuat infrastruktur pertanian, memperluas program asuransi pertanian, dan meningkatkan akses pembiayaan serta pasar bagi petani kecil.
Pemerintah terus mengembangkan sistem data pangan nasional yang akurat dan real-time, sehingga kebijakan yang diambil benar-benar berbasis kebutuhan dan kondisi riil lapangan. Digitalisasi pertanian, pemanfaatan teknologi satelit untuk monitoring produksi, hingga pengembangan logistik pangan yang efisien harus menjadi bagian integral dari strategi swasembada pangan ke depan.
Keputusan pemerintah menghentikan impor beras, jagung, dan gula adalah langkah monumental dalam sejarah pertanian Indonesia. Ini bukan hanya kebijakan teknokratis, melainkan simbol dari kedaulatan bangsa yang mampu berdiri di atas kaki sendiri.
Sebagai masyarakat, sudah sepatutnya kita memberikan dukungan penuh terhadap upaya ini. Caranya bisa bermacam-macam, mulai dari mengonsumsi produk lokal, menghargai kerja petani, hingga mendorong generasi muda untuk terlibat dalam sektor pertanian modern.
Swasembada pangan bukan hanya soal angka produksi, tetapi juga tentang kedaulatan, martabat, dan masa depan bangsa. Dengan semangat gotong royong dan kerja nyata, Indonesia bisa dan harus menjadi negara yang mandiri secara pangan. Mari kita jaga, rawat, dan dukung bersama setiap langkah menuju kemandirian pangan nasional.
(* Penulis merupakan pengamat pertanian dari LabForFarmers