Oleh: Fitra Karen *)
Dalam upaya memperkuat fondasi ekonomi nasional dan mempercepat transformasi sektor strategis, Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara) mengambil langkah signifikan dengan menginvestasikan kembali dividen sebesar Rp81,5 triliun pada 2025. Reinvestasi ini bukan sekadar penempatan dana semata, melainkan sebuah strategi terukur untuk memperbesar daya ungkit ekonomi melalui sektor-sektor prioritas yang mendukung kebijakan pembangunan nasional.
Pengelolaan dividen ini berasal dari proyeksi penerimaan hingga Rp120 triliun dari perusahaan-perusahaan BUMN. Alih-alih hanya menjadi pendapatan pasif negara, Danantara menempuh pendekatan produktif dengan mengarahkan dana tersebut ke sektor-sektor yang diyakini dapat menciptakan nilai tambah jangka panjang. Langkah ini mempertegas peran Danantara sebagai katalis investasi strategis, bukan sekadar sebagai pengelola dana.
Investasi sebesar 5 miliar dolar AS tersebut ditargetkan untuk digelontorkan dalam kurun waktu enam hingga sembilan bulan ke depan. Managing Director Danantara Indonesia, Arief Budiman, menyampaikan bahwa sektor yang menjadi sasaran ditentukan berdasarkan kombinasi antara potensi dampak ekonomi, prospek pengembalian investasi, dan kesesuaiannya dengan arah kebijakan nasional. Di sinilah letak kehati-hatian sekaligus keberanian Danantara, yakni mengarahkan dana publik ke sektor-sektor yang tidak hanya menjanjikan secara ekonomi, tetapi juga relevan dalam menjawab tantangan pembangunan jangka panjang.
Sektor-sektor yang menjadi perhatian meliputi mineral dan hilirisasi, energi terbarukan, infrastruktur digital, kesehatan, jasa keuangan, utilitas infrastruktur, kawasan industri, hingga pangan. Penempatan modal pada sektor-sektor tersebut tidak dilakukan secara serampangan, tetapi berdasarkan kalkulasi dampak makroekonomi serta peluang strategis untuk memperkuat kemandirian nasional. Misalnya, pada sektor pangan, Danantara menyatakan komitmen untuk turut mendukung program swasembada yang sejalan dengan agenda ketahanan pangan nasional. Hal serupa juga berlaku untuk sektor perumahan, dengan adanya sinyal dukungan terhadap program 3 juta rumah, selama terdapat dana Kewajiban Pelayanan Publik (PSO).
Sementara itu, Chief Investment Officer Danantara, Pandu Sjahrir, menegaskan bahwa aspek komersialisasi dan tingkat pengembalian investasi menjadi elemen yang selalu dikedepankan. Namun, pendekatan ini tidak serta-merta mengesampingkan misi pembangunan. Justru, dengan fokus pada kegiatan ekonomi yang feasible dan bankable, Danantara menempatkan diri sebagai penghubung antara aspirasi pembangunan dan logika bisnis berkelanjutan.
Dalam praktiknya, strategi Danantara meniru semangat konsolidasi aset BUMN yang pernah digagas oleh Begawan Ekonomi Sumitro Djojohadikusumo. Aset-aset negara tidak lagi dipandang sebagai entitas yang berdiri sendiri, melainkan sebagai bagian dari ekosistem pembangunan nasional yang harus dioptimalkan melalui investasi yang produktif. Danantara memosisikan diri sebagai orkestrator yang menyatukan potensi, baik dari dalam negeri maupun mitra asing, untuk membentuk koalisi modal yang kuat.
Menariknya, Danantara tidak hanya mengandalkan dana internal. Upaya menarik co-investment menjadi bagian integral dari strategi yang dijalankan. Baik dalam bentuk modal finansial maupun transfer teknologi dan keahlian, investasi bersama ini diharapkan mampu menjawab keterbatasan domestik dan memperluas kapasitas ekonomi nasional. Pendekatan ini bukan sekadar memperbesar skala proyek, tetapi juga menjadi jalan bagi peningkatan daya saing nasional dalam teknologi, efisiensi, dan inovasi.
Dalam eksekusinya, Danantara memilih pendekatan berbasis prioritas sektoral. Beberapa sektor yang disoroti Pandu antara lain hilirisasi mineral seperti nikel, timah, dan bauksit; sektor energi baik dari sisi pembangkitan maupun transmisi; serta infrastruktur air dan limbah. Di bidang manufaktur, Danantara melihat peluang dari ekosistem kendaraan listrik dan semikonduktor yang didorong oleh relokasi industri dari China dan dorongan global terhadap dekarbonisasi.
Khusus untuk kawasan industri, investasi senilai 8 miliar dolar AS telah dialokasikan untuk membangun kawasan industri ramah lingkungan di Sulawesi Tengah. Proyek ini mencerminkan pendekatan yang selaras dengan kebijakan pemerataan pembangunan, serta menjadi upaya konkret dalam mendukung visi Indonesia sebagai pusat manufaktur berkelanjutan. Dalam jangka panjang, pembangunan kawasan seperti ini tidak hanya menciptakan lapangan kerja, tetapi juga meningkatkan kapasitas ekspor dan mengurangi ketergantungan pada bahan mentah.
Lebih dari sekadar manajemen dana, peran Danantara menggambarkan wajah baru pengelolaan investasi pemerintah. Pendekatan yang diusung mampu menjembatani kebutuhan akan efisiensi fiskal dengan tuntutan pembangunan berkelanjutan. Transformasi ini menjadikan dividen bukan sebagai akhir dari proses ekonomi, melainkan sebagai bahan bakar baru untuk mendorong pertumbuhan yang inklusif dan berkeadilan.
Reinvestasi Rp81,5 triliun bukan hanya sebuah angka besar di atas kertas. Hal ini mencerminkan perubahan paradigma dalam pengelolaan aset publik. Pemerintah, melalui Danantara, menunjukkan bahwa dengan tata kelola yang transparan dan visi yang tajam, dana negara dapat digunakan untuk menciptakan nilai lebih, memperkuat kedaulatan ekonomi, dan membangun fondasi masa depan yang lebih tangguh.
Dengan langkah ini, pemerintah tidak hanya mengandalkan belanja negara dalam mendukung pembangunan, tetapi juga memperkuat peran aset dan investasi sebagai instrumen penggerak utama pertumbuhan ekonomi dalam mewujudkan arah kebijakan pembangunan yang modern, efisien, dan berpihak pada kepentingan nasional jangka panjang.
*) Pengamat Ekonomi dan Investasi