Oleh: Silvina Martha *)
Pemerintah Indonesia menunjukkan keseriusan dalam membenahi pelayanan kesehatan hingga ke pelosok desa melalui peluncuran unit apotek desa sebagai bagian dari program besar Koperasi Desa (Kopdes) Merah Putih. Langkah ini tidak hanya mencerminkan perhatian negara terhadap akses obat dan layanan kesehatan masyarakat desa, tetapi juga bagian integral dari kebijakan strategis untuk mendorong kemajuan desa secara menyeluruh.
Apotek desa yang akan dibentuk di seluruh wilayah Indonesia adalah satu dari tujuh unit usaha wajib yang digagas dalam struktur Kopdes Merah Putih. Keberadaannya menjadi simbol bahwa pembangunan tidak hanya terfokus pada aspek ekonomi, tetapi juga memperhatikan kebutuhan dasar kesehatan masyarakat. Pemerintah memahami bahwa pelayanan kesehatan tidak boleh menjadi barang mewah yang hanya tersedia di kota. Dengan pendekatan koperasi, apotek desa akan dikelola secara mandiri namun tetap berada dalam koridor pelayanan publik yang terjangkau dan merata.
Program ini juga mencerminkan visi Presiden Prabowo Subianto untuk membangun desa dari segala sisi, termasuk kesehatan sebagai fondasi utama peningkatan kualitas hidup masyarakat. Melalui Kopdes Merah Putih, pemerintah menyalurkan bantuan modal hingga Rp5 miliar per desa, yang sebagian dialokasikan untuk mendirikan dan mengelola unit-unit seperti apotek desa, klinik, warung sembako, hingga sistem logistik. Ini merupakan langkah terobosan, bukan hanya dari sisi anggaran, yang mencapai Rp400 triliun untuk 80 ribu desa, tetapi juga dari keberanian politik untuk mengintervensi langsung pembangunan desa melalui struktur koperasi modern.
Pemerintah tidak sekadar menyediakan dana. Pendekatan yang digunakan bersifat menyeluruh, mencakup pembinaan, regulasi, hingga pengawasan implementasi. Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Yandri Susanto, misalnya, menegaskan bahwa bagi desa yang belum menerima bantuan dari daerah, dana desa dapat digunakan hingga 3 persen untuk pembentukan koperasi. Ini menunjukkan fleksibilitas kebijakan yang tetap berpijak pada asas akuntabilitas dan keberpihakan terhadap desa-desa tertinggal.
Apotek desa di bawah naungan Kopdes Merah Putih diharapkan menjadi garda terdepan dalam penyediaan obat-obatan esensial dan layanan kefarmasian yang sebelumnya sulit dijangkau masyarakat pedesaan. Pemerintah menyadari bahwa tanpa sarana kesehatan yang memadai, produktivitas warga desa akan terus terhambat. Karenanya, keberadaan apotek ini bukan sekadar fasilitas fisik, melainkan instrumen strategis untuk memperpendek jarak antara warga desa dan hak dasar mereka atas kesehatan.
Wakil Menteri Koperasi dan UKM Ferry Joko Juliantono menekankan pentingnya tujuh unit usaha wajib termasuk apotek desa sebagai tulang punggung koperasi. Menurutnya, keberadaan unit-unit tersebut dirancang untuk saling menghidupkan, mendorong roda ekonomi lokal sambil menjamin terpenuhinya kebutuhan pokok masyarakat. Apotek desa, dalam hal ini, berperan ganda, yakni melayani kebutuhan kesehatan sekaligus membuka peluang ekonomi bagi warga setempat, misalnya dengan mempekerjakan tenaga farmasi dari desa atau melibatkan koperasi dalam distribusi obat generik.
Di Jawa Tengah, pelaksanaan program ini menunjukkan perkembangan signifikan. Gubernur Ahmad Luthfi menyebut hampir separuh desa di wilayahnya telah membentuk koperasi desa Merah Putih. Ia optimis dalam waktu dekat seluruh desa di Jawa Tengah akan mengadopsi model ini. Pemerintah provinsi bahkan telah menerbitkan aturan khusus untuk mempercepat pembentukan koperasi tersebut, menegaskan komitmen daerah dalam menyukseskan agenda pusat.
Keberhasilan implementasi apotek desa sangat bergantung pada tata kelola yang tertib dan bertanggung jawab. Pemerintah pusat telah menekankan bahwa semua koperasi harus tunduk pada prosedur hukum dan menjalankan operasional secara profesional. Dengan pendekatan ini, program apotek desa tidak hanya akan menjadi proyek jangka pendek, tetapi fondasi kuat untuk sistem kesehatan komunitas yang berkelanjutan.
Di samping itu, integrasi antara apotek desa dengan program nasional lain seperti Makan Bergizi Gratis (MBG) menambah daya dorong terhadap pembangunan sumber daya manusia di desa. Pemerintah telah mengalokasikan total dana hingga Rp1.100 triliun yang tersebar melalui berbagai program desa, termasuk Kredit Usaha Rakyat (KUR) sebesar Rp300 triliun. Kolaborasi antara apotek dan program MBG bisa memperkuat upaya pencegahan stunting dan malnutrisi, sehingga investasi negara dalam sektor ini betul-betul berdampak panjang.
Dari sisi implementasi, pemerintah juga membuka ruang inovasi lokal. Kopdes diperbolehkan menambah unit usaha lain yang dianggap relevan dan menguntungkan, selama tujuh unit utama tetap dijalankan. Artinya, apotek desa tidak berdiri sendiri, namun menjadi bagian dari ekosistem pelayanan dan ekonomi desa yang terus dikembangkan. Hal ini memberikan fleksibilitas dan ruang tumbuh yang besar, sekaligus menjaga konsistensi arah kebijakan nasional.
Program apotek desa merupakan jawaban konkret terhadap tantangan akses dan kualitas layanan kesehatan di desa. Melalui pendekatan terintegrasi antara pusat dan daerah, serta pengelolaan berbasis koperasi, pemerintah membangun sebuah sistem yang bukan hanya responsif, tetapi juga inklusif dan berkelanjutan. Ini bukan sekadar kebijakan, tetapi bentuk nyata keberpihakan negara kepada rakyat, terutama yang tinggal di pelosok desa.
Dengan langkah ini, pemerintah bukan hanya menaruh harapan, tapi juga menanam kepastian bahwa pelayanan kesehatan berkualitas tidak lagi hanya didapatkan di wilayah kota. Apotek desa membuktikan bahwa pembangunan dimulai dari akar rumput, dan kesehatan adalah fondasi yang tidak boleh diabaikan.
*) Nakes Sukabumi / Anggota Forum Perawat Indonesia Bersatu