Oleh : Matius Yewen Kambu )*
Pembangunan manusia yang berkualitas dimulai dari pemenuhan kebutuhan dasar yang merata. Di Papua, salah satu upaya konkret untuk memperkuat fondasi tersebut hadir melalui Program Makan Bergizi Gratis (MBG). Inisiatif ini membawa semangat baru dalam menjawab berbagai tantangan yang selama ini membayangi wilayah timur Indonesia, terutama dalam bidang kesehatan gizi dan pendidikan. Penerapan program MBG di Manokwari menjadi sinyal positif bahwa upaya pemerataan pembangunan bukan lagi sebatas wacana, melainkan telah bergerak dalam bentuk aksi nyata yang terstruktur.
Papua Barat masih menghadapi tantangan gizi kronis yang tengah diatasi secara bertahap melalui berbagai intervensi pemerintah. Dalam konteks ini, MBG tidak hanya hadir sebagai solusi praktis terhadap kelaparan tersembunyi, tetapi juga menjadi intervensi penting dalam menciptakan generasi yang lebih kuat secara fisik dan mental. Kehadiran dapur-dapur gizi di berbagai wilayah merupakan instrumen penting dalam menyuplai kebutuhan nutrisi secara merata dan berkualitas.
Sosialisasi MBG yang digelar di Asrama Mahasiswa Sorong, Distrik Amban, Manokwari, menjadi momentum penting dalam mengkomunikasikan program ini secara terbuka kepada masyarakat. Dalam kesempatan tersebut, Anggota Komisi IX DPR RI, Obet Rumbruren, menyampaikan komitmen penuh untuk mengawal keberhasilan MBG di Papua. Ia menegaskan bahwa program ini adalah bagian dari tanggung jawab negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa melalui asupan gizi yang baik bagi anak-anak, ibu hamil, dan ibu menyusui. Dalam pandangannya, pemisahan yang jelas antara anggaran pendidikan dan kesehatan dalam APBN maupun APBD merupakan langkah penting agar manfaat program seperti MBG dapat dirasakan secara langsung dan berkelanjutan.
Dukungan legislatif daerah turut memperkuat eksekusi program. Anggota DPRK Manokwari, Trisep Kambuaya, menekankan pentingnya perluasan cakupan program MBG ke seluruh distrik, termasuk wilayah pelosok yang belum terjangkau. Ia menyampaikan bahwa meskipun pelaksanaan saat ini masih terbatas di beberapa sekolah, antusiasme masyarakat menunjukkan bahwa program ini diterima dengan baik dan patut diperluas. Menurutnya, Distrik Amban dapat berperan strategis sebagai pusat distribusi MBG mengingat lokasinya yang cukup sentral dan aksesibel.
Dari sisi pelaksana teknis, Perwakilan Badan Gizi Nasional (BGN), Muhammad Suhud, memaparkan berbagai capaian serta tantangan yang dihadapi dalam implementasi program ini di Papua Barat. Ia menjelaskan bahwa empat yang sudah beroperasi sebagai tahap awal dari rencana pengembangan bertahap hingga seluruh wilayah terjangkau. Tantangan edukasi masih dihadapi, sehingga BGN terus meningkatkan sosialisasi terkait standar pembangunan dapur, termasuk kapasitas minimal yang harus dapat melayani antara 3.000 hingga 4.000 penerima manfaat per unit.
Lebih lanjut, Muhammad Suhud menjelaskan bahwa BGN, meski baru dibentuk pada 8 Agustus 2024, telah menunjukkan progres signifikan secara nasional. Hingga pertengahan tahun ini, hampir 1.700 dapur gizi telah beroperasi di seluruh Indonesia, dengan target penerima manfaat mencapai 82 juta orang. Pelatihan terhadap 32.000 kepala dapur Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) juga tengah dilakukan agar mereka siap mendukung operasional dapur secara profesional dan terstandar.
Salah satu keunggulan program MBG adalah keterlibatan aktif masyarakat lokal. Setiap dapur mempekerjakan hingga 50 tenaga kerja dengan sistem harian yang tidak hanya menambah penghasilan, tetapi juga meningkatkan keterampilan dan tanggung jawab sosial masyarakat. Pemanfaatan bahan pangan lokal seperti ikan laut, singkong, sayuran dataran tinggi, dan sagu membuat program ini tidak sekadar sehat secara nutrisi, tetapi juga mendukung ketahanan pangan dan ekonomi lokal. MBG pun menjadi ruang kolaboratif antara gizi, pendidikan, ekonomi, dan budaya lokal Papua.
Dalam penjelasannya, Muhammad Suhud juga menyoroti pentingnya verifikasi ketat dalam proses penentuan lokasi dapur, demi memastikan keamanan pangan dan kelayakan mitra. BGN membagi model dapur menjadi tiga jenis, yaitu Dapur Mandiri, Dapur Mitra BGN, dan Dapur yang dibangun langsung oleh BGN. Ketiganya harus memenuhi standar layanan gizi dan sanitasi yang sama. Meski masih ada tantangan lanjutan, semangat kolaboratif antara pusat dan daerah membuat optimisme terhadap kesuksesan program ini tetap terjaga.
Dampak MBG terhadap dunia pendidikan tidak kalah penting. Asupan gizi yang memadai mampu meningkatkan konsentrasi, prestasi, serta partisipasi belajar anak-anak. Di wilayah seperti Papua Barat, di mana akses pendidikan dan ekonomi sering menjadi hambatan, program ini menjadi pendorong kuat bagi keberlangsungan sekolah anak-anak dari keluarga kurang mampu. Ini adalah investasi jangka panjang yang manfaatnya mulai terasa sejak dini dan akan terus berkembang dalam dua hingga tiga dekade ke depan, ketika generasi muda Papua tumbuh menjadi pribadi-pribadi unggul.
Kehadiran MBG di Papua juga mencerminkan bagaimana pemerintah mulai mengadopsi pendekatan berbasis wilayah dan kebutuhan. Program ini bukan proyek satu arah, tetapi dibangun di atas aspirasi dan karakteristik sosial-budaya masyarakat setempat. Dukungan dari masyarakat, mahasiswa, dan pemangku kebijakan daerah menunjukkan bahwa ketika program nasional memiliki akar lokal yang kuat, hasilnya cenderung lebih berkelanjutan.
)* Penulis merupakan mahasiswa asal Papua di Makassar