Oleh : Joshua Afrido )*
Program Apotek Desa kini menjadi salah satu inisiatif unggulan pemerintah dalam meningkatkan akses pelayanan kesehatan masyarakat di wilayah pedesaan. Di tengah tantangan geografis dan keterbatasan sarana medis di banyak daerah terpencil, kehadiran Apotek Desa memberikan harapan baru bagi warga untuk memperoleh obat-obatan dan layanan kefarmasian yang lebih mudah dijangkau. Program ini dirancang untuk memperpendek rantai distribusi obat sekaligus menjamin ketersediaan obat esensial di tingkat desa. Dengan begitu, masyarakat tidak perlu lagi melakukan perjalanan jauh ke pusat kota hanya untuk mendapatkan obat-obatan dasar.
Dalam pelaksanaannya, Apotek Desa dikelola oleh tenaga kefarmasian terlatih yang bekerja sama dengan puskesmas atau fasilitas kesehatan terdekat. Beberapa Apotek Desa bahkan terintegrasi langsung dengan layanan posyandu dan klinik desa, sehingga mampu memberikan layanan kesehatan dasar secara menyeluruh. Pemerintah pusat melalui Kementerian Kesehatan memberikan dukungan berupa pelatihan, pengadaan obat, dan pengawasan mutu, agar pelayanan yang diberikan sesuai dengan standar. Ketersediaan obat generik, alat kesehatan sederhana, dan informasi kesehatan menjadi prioritas utama.
Ketua Umum Pengurus Pusat Ikatan Apoteker Indonesia (PP IAI), apt Noffendri Roestam menjelaskan Program Apotik Desa merupakan langkah konkret untuk mengatasi ketimpangan layanan kefarmasian antara kota dan desa. Ia menambahkan bahwa keterlibatan apoteker dalam sistem layanan di desa dapat menjadi garda depan dalam edukasi masyarakat terkait penggunaan obat yang rasional. Hal ini sangat penting untuk menekan angka penyalahgunaan obat serta meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya konsultasi sebelum menggunakan obat.
Selain manfaat langsung bagi kesehatan masyarakat, Apotek Desa juga membuka lapangan kerja baru di daerah. Dengan adanya apotek yang dikelola secara mandiri oleh tenaga lokal, desa memiliki potensi untuk mengembangkan unit usaha pelayanan kesehatan yang berkelanjutan. Keberadaan Apotek Desa tidak hanya melibatkan apoteker, tetapi juga membuka peluang kerja bagi asisten tenaga kefarmasian, staf administrasi, hingga kader kesehatan yang membantu dalam promosi dan edukasi penggunaan obat yang benar. Model ini turut menggerakkan roda perekonomian lokal karena mendorong munculnya sektor pendukung seperti logistik, pengadaan alat kesehatan, dan pelatihan tenaga kerja. Dalam jangka panjang, desa-desa yang memiliki sistem pelayanan kefarmasian mandiri akan lebih siap dalam menghadapi tantangan kesehatan masyarakat, sekaligus memperkuat posisi mereka sebagai pusat pertumbuhan ekonomi berbasis pelayanan sosial.
Ketua Himpunan Seminat Farmasi Kesehatan Masyarakat PP-IAI, Maria Ulfah menambahkan, program tersebut menjadi momentum luar biasa untuk pemenuhan apoteker di puskesmas. Sebab, berdasarkan penelitian yang dilakukan tahun 2023 lalu, baru 68 persen dari 10.300 puskesmas yang memiliki apoteker. Sisanya masih diisi dengan Tenaga Vokasi Farmasi (TVF) atau tenaga kesehatan lain.
Sementara itu, tantangan dalam pelaksanaan Apotek Desa tetap ada, mulai dari keterbatasan SDM kefarmasian di daerah terpencil, masalah logistik pengadaan obat, hingga regulasi distribusi obat yang terkadang belum seragam. Namun, pemerintah tidak tinggal diam. Berbagai bentuk insentif diberikan kepada tenaga farmasi yang bersedia bertugas di desa, termasuk tunjangan khusus dan peluang untuk mengembangkan karier di daerah. Pemerintah juga mulai mengembangkan sistem digitalisasi pengelolaan stok dan pemesanan obat agar lebih transparan dan efisien.
Partisipasi masyarakat menjadi kunci keberhasilan program ini. Dengan melibatkan kader kesehatan, perangkat desa, dan organisasi lokal, Apotek Desa mampu beradaptasi dengan kondisi sosial dan budaya masyarakat setempat. Bahkan di beberapa daerah, masyarakat secara swadaya turut menyumbang untuk pembangunan bangunan fisik apotek maupun pengadaan alat kesehatan. Bentuk partisipasi seperti ini menunjukkan bahwa masyarakat telah merasakan langsung manfaat dari kehadiran Apotek Desa.
Di sisi lain, Presidium Nasional Farmasis Indonesia Bersatu (FIB), Ismail mengatakan sinergi antara pemerintah, tenaga kesehatan, dan masyarakat menjadi fondasi penting dalam penguatan sistem kesehatan nasional. Apotek Desa bukan hanya soal penyediaan obat, melainkan simbol dari pelayanan kesehatan yang merata dan berkeadilan. Dukungan penuh dari semua pihak akan menjadikan program ini sebagai salah satu tonggak penting dalam upaya mewujudkan Indonesia sehat dari desa.
Program Apotek Desa telah membuktikan peran strategisnya dalam memperluas akses layanan kesehatan yang adil dan merata hingga ke pelosok negeri. Dengan pendekatan berbasis komunitas dan dukungan lintas sektor, inisiatif ini mampu menjawab tantangan keterbatasan distribusi obat dan layanan kefarmasian di wilayah pedesaan. Terobosan ini tidak hanya meningkatkan ketersediaan obat esensial, tetapi juga memperkuat kapasitas tenaga kesehatan lokal serta memperpendek rantai pelayanan medis yang sebelumnya terpusat di kota.
Keberhasilan Apotek Desa bergantung pada kolaborasi aktif antara pemerintah pusat, daerah, tenaga kesehatan, dan partisipasi masyarakat. Tantangan yang ada masih bisa diatasi dengan kebijakan afirmatif, digitalisasi sistem, serta pelatihan dan insentif yang tepat sasaran. Jika dikelola secara berkelanjutan dan konsisten, Apotek Desa akan menjadi pondasi penting dalam membangun ketahanan sistem kesehatan nasional dari akar rumput, menuju Indonesia yang lebih sehat, inklusif, dan berkeadilan.
)* Penulis merupakan mahasiswa yang tinggal di Bandung