Penolakan Penetapan 1 Juli sebagai HUT TPNPB-OPM Menguat dari Akar Budaya

oleh -1 Dilihat
oleh
banner 468x60

Oleh: Fransiska Asso *)

Di tengah derasnya arus konflik dan narasi separatis yang masih coba dipertahankan oleh segelintir kelompok bersenjata di Papua yang telah meresahkan masyarakat dan menghambat pembangunan di berbagai wilayah, suara damai dari para tokoh adat dan agama justru semakin menguat. Penetapan tanggal 1 Juli sebagai Hari Ulang Tahun Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat – Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM), yang juga dikenal sebagai Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB), telah ditolak dengan tegas oleh masyarakat adat Papua. Penolakan ini tidak berdiri sendiri, tetapi merefleksikan keinginan kolektif rakyat Papua untuk meninggalkan masa lalu yang penuh luka dan membuka lembaran baru kehidupan yang damai, bersatu, dan sejahtera dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

banner 336x280

Narasi kekerasan yang diusung oleh kelompok separatis selama bertahun-tahun kini dinilai semakin kehilangan tempat di hati masyarakat. Masyarakat adat yang menjadi fondasi sosial dan budaya Papua telah mengedepankan jalan damai sebagai pilihan utama. Tokoh Adat Papua, Yanto Eluay memegaskan bahwa nilai-nilai luhur dalam adat istiadat Papua tidak pernah mengajarkan kekerasan sebagai sarana penyelesaian konflik. Sebaliknya, semangat musyawarah, saling menghargai, dan menjaga keharmonisan telah diwariskan secara turun-temurun sebagai bagian dari identitas masyarakat Papua.

Penolakan terhadap peringatan 1 Juli tidak hanya muncul sebagai reaksi spontan, melainkan sebagai bentuk perlawanan budaya terhadap upaya-upaya politisasi identitas yang bertentangan dengan jati diri Papua. Gerakan separatis dipandang telah memanfaatkan simbol-simbol kultural untuk membenarkan aksi kekerasan yang justru melukai masyarakat Papua sendiri. Dalam konteks ini, peringatan 1 Juli justru lebih merepresentasikan luka dan ketakutan daripada kebanggaan kolektif.

Ketegasan untuk menolak 1 Juli sebagai HUT TPNPB-OPM sekaligus menjadi penegasan bahwa masyarakat Papua tidak ingin hidup dalam narasi lama yang penuh konflik. Masyarakat Papua ingin maju, ingin sejahtera, dan ingin memastikan bahwa anak-anak mereka tumbuh dalam lingkungan yang aman. Masa depan Papua tidak bisa dibangun di atas puing-puing kekerasan. Masa depan itu hanya dapat diraih jika masyarakat secara bersama-sama memilih damai sebagai fondasi kehidupan sosial.

Lebih jauh, masyarakat adat telah menyuarakan bahwa pembangunan di Papua hanya akan berhasil jika stabilitas keamanan dapat dijaga. Ketika senjata terus berbicara, maka pembangunan akan lumpuh. Sekolah-sekolah akan kosong, fasilitas kesehatan akan sepi, dan masyarakat akan hidup dalam ketakutan. Dalam situasi seperti itu, tidak ada investasi sosial yang bisa bertahan. Oleh karena itu, stabilitas bukan sekadar kebutuhan pemerintah, melainkan menjadi kebutuhan dasar masyarakat Papua sendiri.

Penolakan terhadap simbol-simbol separatisme juga mencerminkan kebangkitan kesadaran baru di kalangan generasi muda Papua. Generasi ini tidak lagi tertarik pada romantisme perlawanan bersenjata yang telah terbukti membawa kehancuran. Mereka kini mulai menyadari bahwa jalan keluar dari ketertinggalan hanya bisa dicapai dengan pendidikan, kerja keras, dan kolaborasi—bukan dengan peluru dan propaganda. Di era digital yang semakin terbuka, anak-anak muda Papua semakin terhubung dengan dunia luar dan melihat sendiri bagaimana kemajuan hanya bisa dicapai dalam suasana damai dan stabil.

Seruan damai yang juga datang dari tokoh-tokoh agama menunjukkan bahwa keinginan untuk meninggalkan konflik bukan hanya menjadi aspirasi kalangan adat, tetapi telah menjadi sikap moral kolektif masyarakat Papua. Para pemimpin gereja dan tokoh spiritual menyuarakan keprihatinan atas dampak kekerasan terhadap kehidupan sehari-hari masyarakat. Mereka menyaksikan langsung bagaimana warga terpaksa meninggalkan rumah, anak-anak takut bersekolah, dan ekonomi lokal lumpuh akibat ketegangan bersenjata.

Nilai-nilai keagamaan dan adat sama-sama menolak kekerasan. Kedua kekuatan sosial ini justru mendorong rekonsiliasi dan kehidupan yang rukun. Di mata mereka, jalan kekerasan hanyalah jalan buntu yang tidak membawa siapa pun ke tempat yang lebih baik.

Pemerintah sendiri dalam beberapa tahun terakhir telah menunjukkan komitmen serius terhadap percepatan pembangunan di Papua. Investasi di bidang pendidikan, kesehatan, infrastruktur, dan kewirausahaan lokal terus digalakkan. Namun semua itu tidak akan berarti tanpa dukungan masyarakat. Karena itu, suara-suara seperti yang disampaikan oleh para tokoh adat dan agama perlu mendapat tempat utama dalam narasi pembangunan Papua ke depan. Mereka adalah cermin suara akar rumput, yang jauh lebih tahu apa yang dibutuhkan oleh masyarakat Papua sebenarnya.

Papua saat ini berada pada titik kritis untuk menentukan arah masa depannya. Akan sangat disayangkan jika kemajuan yang sudah mulai tampak harus terhenti karena segelintir pihak masih memaksakan jalan kekerasan. Penolakan terhadap penetapan 1 Juli sebagai hari peringatan kelompok bersenjata merupakan sikap berani dan tegas bahwa Papua tidak akan tunduk pada narasi yang membahayakan masa depannya.

Pesan yang ingin disampaikan jelas bahwa Papua memilih damai. Papua menolak hidup dalam bayang-bayang konflik. Papua ingin membangun masa depan yang lebih cerah bagi generasi muda—dalam pelukan keamanan, kesejahteraan, dan persatuan.

Dalam konteks ini, penolakan terhadap simbol-simbol separatis bukanlah penyangkalan terhadap sejarah, melainkan upaya merebut kembali masa depan. Dan ketika masyarakat Papua sendiri yang bersuara, maka dunia harus mendengar: Papua adalah bagian dari Indonesia, dan di tanah ini, damai telah dipilih sebagai jalan menuju kemajuan.

*) Pegiat Literasi – Pemuda Asli Papua

banner 336x280

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.